Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2020

Narasi Neraca Hidupku

Selalu, dalam kebosanan hari-hariku, kau datang dengan cerita-ceritamu yang sesungguhnya hanya recehan. Namun, siapa sangka pulur kata-katamu sumbangkan tawa. Seketika kebosanan itu pergi, sedang neraca hidupku mulai seimbang. Mas Fendik, aku tidak tahu kata-katamu itu terlahir dari mana. Sebagaimana mulanya layu, perlahan tumbuh, aku bangkit dari suatu keadaan yang membosankan. Kata-katamu, sihir bibir. Sepintas, kudayungkan perahu kecil menuju telaga bening matamu. Izinkan aku mengambil satu tetes sebagai penyejuk kalbu. Di bola mata yang indah, ingin kugiring perahuku di sana. Memutus sapuan luka, yang rindu akan hadirnya sapa. Apakah ada perahu yang telah berlabuh di sana, bisikku padamu. Kau tersenyum simpul, memperlihatkan barisan gigimu. Aku merasa neraca hidupku bergantung padamu. Setiap kebosanan melanda, aku berharap ada sisa daratan cintamu. Barangkali, justru kau izinkan aku berlabuh di sana. Sembari menikmati telaga paling sederhana di bola matamu. Kembali, di malam yang d...

(Re)Kehidupan

Menariknya, sekali pun daun rindu telah meranggas, perempuan itu masih bisa berdiri tegak. Sekali pun ia sulit bernapas, telaga bening yang ia simpan di gudang akar masih cukup menghabisi kemarau. Tiada yang mengharap kemarau tiba, begitu pula datangnya hujan. Keduanya timbul ironi pada setiap pundi-pundi kehidupan.  Terbelah, dan membelah sendiri daratan cinta ini. Seolah itu cara terakhir tetap bisa bernapas ada sesak paling dalam. Kuberi ruang, bahwa keadaan tercipta karena suatu keadaan itu sendiri. Biar kalbu mendesaknya, rasa tahunya yang tinggi. "Apakah sudah cukup puas?" bisikmu pada ranting kehidupan yang tinggal menghitung waktu menghabisi diri. "Kapan ini berakhir, aku tidak siap yang lain terluka. Biarkan aku yang merasakan, dan mereka yang lebih mengenang hidupnya?"  Di luar logikaku, bagaimana mungkin ada kehidupan yang sedemikian tega mematikan yang hidup, sementara kehidupan amat takut daripada kematian. Hidup dan mati seperti roda. Pada saatnya berg...

Kritik Sosial Novel Tanah Air

Asu gedhe menang kerahe. Barangkali, peribahasa Jawa tersebut cocok untuk mewakili intisari novel Kawin Matin di Negeri Anjing. Novel tersebut merupakan juara II sayembara menulis novel nasional Basabasi. Tanpa meragu tentang cerita novel, penulis Arafat Nur kembali menyuguhkan cerita berlatar Aceh. Kawin Matin di Negeri Anjing , sesungguhnya setema dengan novel-novel sebelumnya. Novelis seolah tiada habis bercerita tentang Aceh dengan segala pergolakannya. Mulai dari aspek sosial, budaya, politik, hukum, ekonomi, dan lain sebagainya. Setelah membaca novel tersebut, saya teringat akan peribahasa Jawa asu gedhe menang kerahe. Artinya, orang yang berpangkat tinggi, pasti lebih menang dalam berpekara. Menilik dari peribahasa Jawa tersebut tampak jelas, novel ini meruang persoalan kritik sosial. Novelis menggiring pembaca pada fenomena sosial yang sering kali memanfaatkan jabatan. Tampaknya, inilah yang terjadi pada bangsa kita hari ini. Darwis, si anak kepala kampung Kareung patut...

Keesaan Sebuah Cinta

mestinya kamu tahu, berhadapan dengan yang namanya cinta tiada mata kuasa. mestinya pula kamu tahu, berjalan dengan namanya cinta tiada hati mau luka. terakhir, mestinya yang harus kamu tahu, bersenandung atas nama cinta bukan suatu yang purna. cinta tidak bisa dibeli. cinta tidak pula diukur. cinta pula tidak bisa dihitung. dan, cinta itu sendiri tidak bisa dibagi cinta kepada Tuhan adalah esa. Demikian cinta padamu, satu. satu dari cinta, satu dan satu-satunya. persoalan cinta, suatu yang dewasa penting dipahami dan dimaknai. bukan sekadar kata, lebih jauh menyoal laku. bagaimana, masih kamu simpan cinta serupa embun untuk keesaan sebuah cinta?

Bahagia

Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah dengan menyebut kuat-kuat sifat-Mu yang pengasih lagi penyayang.Dalam surat kali ini, saya hendak mengungkapkan kepada-Mu, yang hakikatnya engkau sudah tahu, bahkan mengerti. Persoalan kebahagian Ya Tuhan hanyalah subjektifias. Bahagia saya belum tentu bahagia orang lain. Sebaliknya, bahagia orang lain belum menjamin kebahagiaan saya. Lalu, pertanyaannya adalah adakah kebahagiaan yang sia-sia? Bahagia adalah persoalan emosi manusia. Begitupula dengan ketakbahagiaan--sedih, gelisah, kecewa, kesal, dan lain sebagainya. Tuhan, saya bahagia berada pada titik hari ini. Namun, bawah sadar saya menyimpan seribu luka yang naik-turun. Apakah karena ini kalbu. Ia senantiasa plin-plan, bisa iya bisa tidak, namun benarnya iya dan juga tidak. Kebahagiaan macam apa ini, Tuhan? Bahagia hanya subjektifitas. Saya bisa bahagai karena, mereka bisa bahagia karena pula, dan kita bisa bahagia oleh karena-karena pula. Kebesaran hati menerima luka adalah sebuah keputusa...