Selalu, dalam kebosanan hari-hariku, kau datang dengan cerita-ceritamu yang sesungguhnya hanya recehan. Namun, siapa sangka pulur kata-katamu sumbangkan tawa. Seketika kebosanan itu pergi, sedang neraca hidupku mulai seimbang.
Mas Fendik, aku tidak tahu kata-katamu itu terlahir dari mana. Sebagaimana mulanya layu, perlahan tumbuh, aku bangkit dari suatu keadaan yang membosankan. Kata-katamu, sihir bibir. Sepintas, kudayungkan perahu kecil menuju telaga bening matamu. Izinkan aku mengambil satu tetes sebagai penyejuk kalbu.
Di bola mata yang indah, ingin kugiring perahuku di sana. Memutus sapuan luka, yang rindu akan hadirnya sapa. Apakah ada perahu yang telah berlabuh di sana, bisikku padamu.
Kau tersenyum simpul, memperlihatkan barisan gigimu. Aku merasa neraca hidupku bergantung padamu. Setiap kebosanan melanda, aku berharap ada sisa daratan cintamu. Barangkali, justru kau izinkan aku berlabuh di sana. Sembari menikmati telaga paling sederhana di bola matamu.
Kembali, di malam yang dipenuhi suara jangkrik, gemitang kunang-kunang tangan ini bergetar. Menjelajahi tombol-tombol, dan ia mengetik namamu. Seketika dering berbunyi, terdengar suara berat.
"Apakah kau bisa datang menemuiku?" tanyaku.
"Tidak bisa. Aku sedang sibuk," jawabmu datar.
Mas Fendik, bila ada orang bertanya tentang kedatanganmu, tidak akan ada kata yang tercipta. Kata-kata itu telah membisu, seolah layu, kemarau sebentar lagi akan membuat daun kerinduan berjatuhan. Dan, telaga itu perlahan mengering. Tinggal menunggu waktu, esok atau lusa, atau bahkan hari ini.
Mestinya aku bersiap tentang kesiapan musim kemarau. Dan, mestinya aku berlagak biasa saja menghadapi perjumpaan kemarau. Sebab, selalu, kau tinggalkan kata untuk tidak percaya pada sebongkah daging manusia, bernama laki-laki. Ia mudah menipu perempuan yang ditemuinya. Itu salah satu bagian dari hobi para lelaki.
Kata-kata itu sering kali kau tanggalkan sebelum benar kau pergi untuk menemui lain. Aku berlagak tuli, dan akhirnya melupa kata-katamu. Bahwa pada saatnya kesunyian malam akan diisi dengan tangisan. Dan kau berkata, "Kamu bisa berenang atau mendayung perahumu di telaga yang kamu buat sendiri."
Baru tersadar, kamu memang tidak tercipta untuk satu wanita. Mestinya, itu kupahami sedari dulu. Ketika kata-katamu mencipta rumah di kepala kalbu. Supaya tiada harap recehan kata-katamu menghapus kebosanan. Sekarang kunikmati neraca hidup ini dengan dayungan yang tak berarti.
Komentar
Posting Komentar