Menariknya, sekali pun daun rindu telah meranggas, perempuan itu masih bisa berdiri tegak. Sekali pun ia sulit bernapas, telaga bening yang ia simpan di gudang akar masih cukup menghabisi kemarau.
Tiada yang mengharap kemarau tiba, begitu pula datangnya hujan. Keduanya timbul ironi pada setiap pundi-pundi kehidupan.
Terbelah, dan membelah sendiri daratan cinta ini. Seolah itu cara terakhir tetap bisa bernapas ada sesak paling dalam. Kuberi ruang, bahwa keadaan tercipta karena suatu keadaan itu sendiri. Biar kalbu mendesaknya, rasa tahunya yang tinggi.
"Apakah sudah cukup puas?" bisikmu pada ranting kehidupan yang tinggal menghitung waktu menghabisi diri.
"Kapan ini berakhir, aku tidak siap yang lain terluka. Biarkan aku yang merasakan, dan mereka yang lebih mengenang hidupnya?"
Di luar logikaku, bagaimana mungkin ada kehidupan yang sedemikian tega mematikan yang hidup, sementara kehidupan amat takut daripada kematian. Hidup dan mati seperti roda. Pada saatnya bergerak karena digerakkan. Aku selalu percaya, reinkarnasi itu nyata meski tak kembali pada rupanya. Tuhan aku mengganti wujud lain. Dari situ, aku mengerti kuasa Tuhan. Tiada-Nya membiarkan kegelapan menjelma politik kekuasaan.
Pada saatnya, kehidupan akan berulang. Setiap kematian akan tiba kelahiran.
Komentar
Posting Komentar