Langsung ke konten utama

Bahagia

Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah dengan menyebut kuat-kuat sifat-Mu yang pengasih lagi penyayang.Dalam surat kali ini, saya hendak mengungkapkan kepada-Mu, yang hakikatnya engkau sudah tahu, bahkan mengerti. Persoalan kebahagian Ya Tuhan hanyalah subjektifias. Bahagia saya belum tentu bahagia orang lain. Sebaliknya, bahagia orang lain belum menjamin kebahagiaan saya. Lalu, pertanyaannya adalah adakah kebahagiaan yang sia-sia?

Bahagia adalah persoalan emosi manusia. Begitupula dengan ketakbahagiaan--sedih, gelisah, kecewa, kesal, dan lain sebagainya. Tuhan, saya bahagia berada pada titik hari ini. Namun, bawah sadar saya menyimpan seribu luka yang naik-turun. Apakah karena ini kalbu. Ia senantiasa plin-plan, bisa iya bisa tidak, namun benarnya iya dan juga tidak. Kebahagiaan macam apa ini, Tuhan?

Bahagia hanya subjektifitas. Saya bisa bahagai karena, mereka bisa bahagia karena pula, dan kita bisa bahagia oleh karena-karena pula. Kebesaran hati menerima luka adalah sebuah keputusasaan dalam mengarungi kehidupan. Bahwa kehidupan adalah rentetan cerita. Hidup tak lebih sama dari novel-novel yang ditulis oleh sastra dan sastrawan Indonesia. Mungkinkah, pada akhirnya cerita hidup serupa novel remaja yang ending-nya bahagia. Mungkinkah, mungkin?

Merasa bahagia, dibahagiakan, membahagiakan, berbahagia, terbahagia sesungguhnya tidak ajeg. Tinggal melihat dari mana seseorang itu melihatnya. Saya hari ini bahagia; Saya dibahagiakan oleh kasih sayang kedua orang tua; Membahagiakanmu adalah suatu tanggung jawab; berbahagialah kalian usai apa yang diinginkan tercapai; Hal yang (paling) terbahagia adalah ketika melihatmu bahagia, kebahagian dirimu adalah kebahagianku.

Tuhan, dalam bahagiaku adalah: (1) ketika melihat orang di sekililing bahagia, (2) kemampuan menyelesaikan sesuatu dengan senang dan ikhlas, (3) melakukan sesuatu sesuai kata hati, (4) berusaha melakukan terbaik dan telah melakukan, (5) mencintai sesuatu dengan tanpa memikirkan, (6) mendapat sesuatu yang saya inginkan, (7) berkeputusan tanpa ragu dalam diri, (8) berjalanan bersama misi yang ada, (9) jumpa--melakukan perjumpaan dengan-Mu dalam sujud, (10) menjadi yang terbaik untukmu

Dalam surat yang kental dengan kata 'bahagia' ini Tuhan, sesungguhnya adalah akal-akal saya saja. Saya bermaksud mengakalimu dengan cara senantiasa mengucap ulang bahagia. Tentang maksudnya apa tentu Tuhan lebih tahu dan mengerti. Dan, untuk kali ini bahagia adalah subjektifitas. Jangan meminta untuk mengatakan bahagia, tanpa tahu dasar bahagia diri ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...