Langsung ke konten utama

Kenali dan Sayangi Buku


Yusuf Ma’zumi dalam kolom “Pembaca Menulis”, di koran Republika, edisi 28 Agustus 2016, mengatakan bahwa di Amerika ada sebuah perpustakaan yang selalu buka 24 jam. Itu pun tidak pernah sepi, baik di pagi hari, siang ataupun malam. Masyarakat Amerika, khususnya pelajar, rajin berkunjung dan membaca buku di perpustakaan. Fenomena  semacam itu menarik untuk direnungkan.

Di Indonesia pemandangan fenomenal itu sulit sekali ditemukan. Apalagi di daerah kecil macam Ponorogo. Berita Antaranews (28/10/2015), memberitakan betapa di negara maju, orang umumnya gemar membaca. Setiap penduduk membaca 20 hingga 30 judul buku setiap tahunnya. Sebaliknya, di negara berkembang termasuk Indonesia, penduduk hanya membaca paling banyak 3 judul buku, itupun tergolong usia 0-10 tahun. Sungguh seperti “binatang langka” saya menyebutnya. Maksudnya tidak sembarang tempat dapat kita jumpai dan temukan.  

Tak hanya di Amerika, di Jepang pun, sudah mengakar lama tradisi membaca. Bahkan barang siapa yang tidak membaca, maka ia akan mendapatkan sanksi. Bagi mereka, membaca menjadi suatu kewajiban, sebagai kebutuhan, akan hausnya ilmu pengetahuan. Sayangnya, kesadaran terhadap membaca buku di masyarakat Indonesia minus sekali. Jika kita mau belajar dari budaya baca Amerika dan Jepang, maka bangsa kita tidak saja kaya akan hasil alam, harta, tetapi juga unggul kualitas SDM-nya.

Dalam membangun kesadaran masyarakat, maka dibutuhkan usaha yang ekstra. Baik masyarakat, keluarga, sekolah, dan terlebih lagi pemerintah. Mengapa demikian? Karena sejak kecil, anak-anak tidak dikenalkan dan dibekali dengan budaya membaca. Jangankan membaca, buku pun mereka tidak dikenalkan oleh kedua orang tuanya. Pertanyaannya: bagaimana budaya membaca akan terbentuk, jika buku saja tidak dikenalinya. Seperti pepatah,” Tak Kenal Maka Tak Sayang.”

Sebelum kita suka kemudian menyayangi sesuatu, tentunya kita harus mengenali dulu sosoknya (buku). Entah dipandang dari sudut mana, kita harus memahaminya terlebih dulu. Coba bayangkan, ketika seseorang ingin menikah pasti mereka harus mengenal dulu sosok orang yang akan dinikahi. Tidak hanya sosoknya tetapi juga keluarga, pergaulan, dan lingkungannya. Maka diantaranya akan tumbuh sikap menyayangi serta manjaga. Sebaliknya, ketika seseorang ingin menikah dan belum mengenal orang yang dinikahi, maka apa yang terjadi? Tentu, rasa sayang akan sulit tumbuh, begitu pula dengan rasa simpati dan empati mereka. 

Ibarat mencintai buku sebagai pernikahan di atas, maka problemnya hal itu tidaklah  terjadi di Indonesia. Bangsa kita tidak memiliki budaya membaca, parahnya lagi tidak mengenal buku. Buku terbitan memang banyak, tetapi mereka tidak tahu mana buku yang berkualitas baik atau sebaliknya.

Untuk mencintai buku barangkali kita bisa belajar dari tokoh-tokoh sejarah yang monumental seperti Tan Malaka, Soekarno, dan Hatta. Tan Malaka, setiap pagi rela berjalan kaki dari Kalibata ke Museum Nasional (sekarang Perpustakaan Nasional) hanya untuk membaca buku. Bung Hatta, karena begitu cinta membaca buku  ketika akan dipenjara, ia berkata, ”Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” 

Sukarno, presiden RI pertama itu meskipun lahir dari keluarga yang miskin, tetapi gemar membaca buku. Perpustakaan  Theosofi Surabaya menjadi rumah keduanya. Padahal, di zaman Soekarno negara kita masih dalam penguasaan bangsa lain. Tapi, siapa sangka Soekarno begitu gentol lari dalam dunia buku untuk menjernihkan dan mengasah otaknya.

Otak manusia itu diibaratkan seperti gergaji. Kalau dibiarkan saja—tidak diasah atau dikikir, sudah pasti tidak dapat digunakan lagi. Sama seperti otak kita, kalau tidak dipasok wawasan dan ilmu guna menggali pengetahuan berpikir, maka otomatis saraf-saraf yang semula aktif akan mati, dan akhirnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sungguh menyeramkan.

Coba renungkan, siapakah ketiga orang itu (Tan Malaka, Soekarno, dan Hatta)? Mereka adalah orang-orang besar di bidang literasi pada zamannya. Mereka mengartikan buku serupa ruang jiwa. Bukulah yang menjadikannya orang besar. Lalu, bagaimana dengan kita? 

Untuk itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang memiliki mimpi untuk menjadi orang besar, maka harus diikuti dengan pengorbanan yang besar pula. Salah satu pengorbanannya adalah gila membaca buku. Tiga tokoh orang besar itu sesungguhnya adalah contoh penting yang menarik untuk diteladani sebagai penggila buku. Kenali dan sayangi buku. 

Jika kita tanpa membaca buku maka kita akan menjadi apa yang disindirkan oleh Titon Rahmawan, “Hidup tanpa buku seperti ruang gelap tak berlampu.”  Tunggu apalagi, mari kita membaca!

*Tulisan pernah termuat di Radar Ponorogo, 7 September 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...