Langsung ke konten utama

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik



Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter. 

Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya.

Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya.

Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut.

‘’Jadi, awalnya ingin menjadi wartawan televisi, tapi sama Bapak (Sutejo) diarahkan ke media cetak,’’ ujarnya.

Suci tinggal serumah dengan Sutejo di Jalan Halim Perdana Kusuma, Tonatan. Selama di sana, dia sering bertemu dengan para jurnalis nasional. Ilmu mereka pun banyak diserap.

‘’Kami membedah banyak koran, mengamati model penulisan berita, dan kemudian dipraktikkan sebagai citizen reporter dan dikirim ke salah satu media cetak,’’ beber gadis 23 tahun tersebut.

Setiap kali bepergian, Suci tidak lupa mengabadikannya lewat tulisan dengan gaya jurnalistik. Misalnya, ketika suatu hari bersepeda ke alun-alun. Dia bertemu dengan komunitas sepeda yang lantas dijadikan narasumber untuk dikaitkan dengan isu kesehatan.

‘’Akhirnya menjadi kebiasaan,’’ tuturnya.  

Malam menjadi waktu paling nyaman bagi sulung dua bersaudara itu untuk menuliskan cerita. Selama lima tahun sejak 2015, seratusan karya citizen reportasenya sudah nampang di media cetak dan online. Karya opininya juga pernah dimuat di media cetak lokal dan nasional.

‘’Saya sempat putus asa karena pernah sembilan kali mengirim karya tidak pernah dimuat,’’ ungkap Suci.

Tulisannya yang dimuat di koran lantas dikliping. Karena media luar daerah, dia biasa meminta bantuan temannya untuk mengirimkan koran yang memuat karyanya itu. Dari hasil menulis itu pula Suci punya penghasilan tambahan.

 Suci juga pernah memenangi lomba-lomba menulis artikel media massa. ‘’Sekarang menunggu pengumuman pemenang lomba menulis cerita inspiratif,’’ ujarnya. (dil/c1/cor).

Pewarta: DILA RAHMATIKA, Kota, Jawa Pos Radar Ponorogo
*Feature tokoh terkait dipublikasi Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi 20 Oktober 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...