Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.
Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.
Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit dengan penduduknya yang beringas, rangah, dan pongah, serta tiada henti-hentinya saling bertikai, mengusik dan merusak. Perilaku seperti ini adalah tabiat dan perangai buruk penduduk Lampuki. Anehnya mereka bangga menularkan kepesongan tersebut kepada anak-cucunya, seakan-akan hanya itulah bekal utama untuk hidup senang dan bahagia.
Selain sebagai teungku, Muhammad Yusuf adalah seorang kuli bangunan di kampung Lampuki. Tahun 1992 ia termasuk salah satu pekerja yang membangun perumahan Selangkangan. Sebuah kompleks perumahan yang terdiri tiada lebih dari lima puluh rumah kecil. Perumahan itu dibangun pemerintah sebagai tempat tinggal pensiunan tentara beserta keluarga. Namun, empat tahun kemudian perumahan itu kembali kosong, tidak ada seorang pun yang bersedia menempati rumah-rumah itu akibat sekelompok pemberontak kerap membuat kekacauan.
Pemberontakkan di kampung Lampuki tersebut dipimpin oleh Ahmadi. Berandalan kampung berkumis tebal yang berhasil menghasut para penduduk supaya mengangkat senjata menyerang pasukan tentara yang dikirim pemerintah Indonesia. Lelaki tegap, gagah, garang, bersuara nyaring, dan lantang berteriak-teriak itu begitu masyhur. Orang-orang kerap menyebut dirinya hampir di saban percakapan. Dialah Ahmadi si Kumis tebal, lelaki yang menakutkan sekalian orang. Kumisnya yang bagikan bulu ijuk itu telah menebarkan keresahan di kampung Lampuki. Ia sering melakukan tindakan yang memancing amarah tentara. Ketika tentara berang ia lalu menghilang tanpa seorang pun yang mengetahu kepergiannya itu.
Suatu ketika, setelah tiga bulan lama Ahmadi raib dari Lampuki, tiba-tiba pada suatu hari ia datang ke balai menemui teungku Yusuf yang sedang mengajar ngaji murid-muridnya. Kedatangannya sontak membuat Ahmadi dan murid-muridnya ketakutan. Tubuh anak-anak itu mengerut, beringsut agak meringkuk di dinding dengan wajah tiada memancarkan sinar lagi. Ahmadi tidak terlalu menghiraukan keadaan anak-anak di sekelilingnya yang tertegun-tegun mengarahkan tatapan pada kumisnya. Ia mulai menuturkan panjang lebar perihal sejarah tanah Aceh, keagungan para pendahulu Aceh, juga kekejaman tentara dalam membantai penduduk. Semua itu dilakukan Ahmadi untuk memengaruhi penduduk Lampuki.
Ahmadi tidak saja menceramahi penduduk Lampuki. Ia juga berteriak-teriak pada sejumlah orang, menyebarkan maklumat yang melarang anak-anak untuk bersekolah. Penutupan sejumlah rumah sekolah di wilayah Sagoe Peurincun merupakan realisasi dari larangan tersebut. Baginya sekolah akan membahayakan anak-anak, rumusan pelajaran sekolah memengaruhi dan meracuni pikiran mereka, sehingga kelak dapat membenarkan membunuh, menjajah, dan menjarah. Namun, realitanya tujuan larangan sekolah itu lebih pada kepentingan lain, yang merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap bertambahnya jumlah musuh Ahmadi.
Ahmadi pada mulanya adalah seorang berandalan kampung yang berkumis tebal. Pengaruh dan ajakan Ahmad Peurincun—pemimpin pemberontak sebelumnya—membuat ia menjadi pemberontak yang garang. Setahun sebelum Tahun-Tahun Perlawanan (1998) ia muncul di kampung Lampuki sambil berhilir mondar-mandir, meludah, dan menyerapah. Teriakannya yang nyaring dan lantang itu menggetarkan dan mengguncang jiwa sekalian orang. Sejumlah keluarga pensiunan tentara yang menghuni kompleks gemetar kengerian, mereka terburu-buru mengemasi dan mengepak barang-barang milik mereka, lantas bergegas menyingkir dari perumahan dengan raut muka ketakutan. Tak lama setelah itu Ahmadi membawa pindah istri dan anaknya guna menempati salah satu rumah yang kosong. Kehadirannya membuat penduduk Lampuki merasa resah, sebab setiap hari Ahmadi selalu membuat ulah. Entah memengaruhi penduduk, menyerang pos jaga tentara, hingga menembaki mobil tentara yang sedang berkeliling. Tindakannya ini membuat pasukan tentara marah, hingga mereka melancarkan tembakan terhadap siapa saja yang dianggap mencurigakan.
Semangat berapi-api Ahmadi dan kawan-kawannya tidak terkendali sama sekali. Tiada seorang pun yang berani menyela hanya untuk mengingatkan atau menunjukkan kegusaran hati mereka atas petaka yang sudah menghampiri. Celakanya, Halimah—istri Ahmadi—malah ikut-ikutan terpengaruh angan-angan panjang suaminya yang menyebarkan mara ke sepenjuru kampung. Perempuan itu mendukung kegiatan suaminya dengan membantunya mengutip sumbangan dengan cara mendatangi sejumlah rumah penduduk, yang kutipan itu kemudian menjadi pajak wajib untuk kepentingan perjuangan.
Kumis tebal itu telah menimbulkan keresahan dan ketegangan di sebagian wajah penduduk. Ahmadi tidak saja marah pada sekalian orang yang menolak ajakannya untuk menjadi laskar, dia juga melimpahkan kegagalan usahanya pada teungku Yusuf dan penduduk Lampuki. Setiap hari ia berjalan-jalan di sekitar bukit, menilik-nilik sesuatu, atau mengamati keadaan di sekitar rumah-rumah kosong yang semakin nampak tua, kusam, dan tak terurus. Ia menendang pintu-pintu rumah kosong. Kadang ia berdiri di antara rumah-rumah sambil menyepak-nyepak batu atau potongan kayu di jalan. Sesekali ia juga menyetak dan menyerapah siapa pun yang ditemuinya di jalan.
Pembawaannya yang kaku menyebabkan dia sulit berakraban atau beramah-tamah dengan siapa saja. Sekalipun dia tidak punya pekerjaan dan terlihat serupa gelandangan yang kesibukannya cuma keluyuran, dia punya kedudukan terpandang oleh jabatannya sebagai Panglima Laskar Sagoe Peurincun. Selalu saja timbul takut dan segan yang mengganjal dada setiap orang bila hendak atau sedang berhadapan dengan kumisnya. Bila penduduk berpapasan dengan Ahmadi di jalan, penduduklah yang terlebih dahulu mengangkat tabik seraya melayangkan salam. Ahmadi selalu menjawabnya dengan acuh, setengah enggan, dan menunjukkan bahwa dirinya adalah sosok penguasa paling berkuasa di tanah yang sedang berdarah-darah dan ditimpa musibah ini.
Ahmadi kerap berada di antara dua tiga remaja, sibuk bercakap-cakap dengan sambil melontarkan sepatah dua senda-gurau, tetapi tetap saja tidak menghilangkan kesan kelakuannya. Kelakuan Ahmadi tidak saja membingungkan, malah menimbulkan kecemasan lain sebagian orang tua dari anak-anak yang dihampiri Ahmadi. Sebagian orang sama-sekali tidak peduli, dan justru mengolok-olok kumisnya. Sejumlah penduduk khawatir anak-anak mereka bakal termakan hasutan Ahmadi, lantas mereka akan kehilangan anaknya yang lenyap pergi bersama lelaki itu ke hutan, tanpa ada kuasa bagi mereka untuk melarang kalau semua itu memang sudah menjadi pilihan dan kemauan anaknya. Salah satu remaja yang berusaha dihasut Ahmadi adalah Harun, salah seorang murid teungku Yusuf. Ahmadi mengumpati Harun, setelah anak itu menolak keinginanya untuk menjadi anak buahnya.
Murid teungku Yusuf lain yang termakan oleh hasutan Ahmadi adalah Musa si Mata Sipit. Bujuk-rayu yang besertakan desakan memaksa dari Ahmadi membuat Musa memutuskan untuk bergabung bersama kelompok Ahmadi si Kumis Tebal. Suatu malam Musa menemui teungku Yusuf guna memohon diri dan minta keberkatan serta doa keselamatan sekaligus untuk menutup pengajiannya. Dalih perkara tentang penculikan ayah anak itu, langsung membangkitkan semangat dendam kesumat di mata sipitnya. Ayah Musa tidak pernah kembali setelah pasukan tentara secara paksa meringkusnya pada suatu malam di bulan Ramadhan. Perihal penculikan itulah yang menyebabkan Musa kontan termakan hasutan Ahmadi.
Setelah Musa menjadi anak buahnya, Ahmadi beserta anak buahnya lantas melakukan penghadangan terhadap sebuah mobil truk mini yang mengangkut sekawanan serdadu, yang mereka itu hendak menuju ke sebuah pos jaga yang berada di sebuah kota kecil di Nisam. Ketika mobil itu mendaki tanjakan bukit, anak buah Ahmadi segera memuntahkan peluru pelontar dari tabungnya, yang roket itu langsung melesat tajam dan menghantam badan mobil secara tepat benar. Maka leburlah mobil beserta sembilan penumpangnya. Sedangkan Ahmadi dan anak buah lain, dengan senjata AK-47, melepaskan tembakan terhadap tubuh-tubuh yang masih bernyawa hingga mereka meregang nyawa. Akibat peristiwa itu, sejumlah prajurit murka. Mereka datang ke Lampuki, mengamuk hebat, memukuli penduduk sekitar, menyapu bersih sejumlah bangunan, dan mereka membakar rumah-rumah di sepanjang jalan menuju hutan. Dua pekan setelahnya, manakala serdadu pengintai menemukan markas Ahmadi, maka mereka langsung mengepung markas tersebut lantas menembaki orang di dalamnya. Korbannya adalah empat orang anak buah Ahmadi. Mereka mati dibunuh oleh pasukan serdadu, sementara Ahmadi selamat lantaran ketika serdadu menyerang markas ia sedang buang hajat di sungai.
Kehadiran pasukan tentara di kampung Lampuki, membuat semua orang ketakutan. Jalanan mendadak sepi sebelum gelap sempurna jatuh. Pintu-pintu rumah dan jendela sudah pula tertutup rapat, dan tak seorang pun lagi yang berkeliaran di jalan. Teungku Yusuf merasa gelisah karena tak ada seorang pun muridnya yang hadir di balai. Tentara yang mengendap-endap mengintai di balik semak, kerap muncul tanpa disangka-sangka dalam kegelapan, mencurigai siapa saja yang berada di jalanan pada tengah malam. Kalau pun orang itu tidak jadi korban nantinya, setidaknya dia akan merasakan pukulan sebagai bentuk peringatan untuk tidak berbuat macam-macam di malam hari.
Ketika tentara menyerang kampung Lampuki, Ahmadi selalu menghilang ke hutan sewaktu-waktu. Kebiasaan Ahmadi yang tinggal di hutan berbulan-bulan untuk latihan perang, membuat Halimah menjalin cinta terlarang dengan Jibral—pemuda kampung yang rupawan--. Kisah itu bermula ketika Jibral datang ke rumah Halimah guna menyerahkan uang pajak. Saat itulah Halimah mengajak Jibral ke kamar, menunjukkan sesuatu yang belum pernah dilihatnya seumur hidup. Mulutnya tergagap, tetapi masih sempat dia menuntaskan bahwa tangan Halimah menuntun tangannya menelusuri ke sana; ke bukit-bukit dan lembah kecil tempat kolam terlarang.
Perselingkuhan Halimah dan Jibral tak menurunkan keinginan Ahmadi melawan pemerintah. Ia terus saja membuat ulah yang mengundang kedatangan tentara. Kedatangan yang disertai amarah membuat tentara acap melepaskan tembakan ke sembarang orang; ke arah pemuda kumuh bodoh yang menunjukkan gelagat mencurigakan. Ada saja kejadian yang tidak disangka-sangka. Tidak hanya itu, sebagai bentuk kewaspadaan, pasukan tentara juga menduduki kampung Lampuki. Selepas pendudukan tentara, Lampuki dalam keadaan tegang mencekam. Setiap orang merasakan gemetar waktu berada di Pasar Simpang. Di sana banyak tentara hilir-mudik berkeliaran tak barang tentu. Rasa gemetar tak kunjung hilang sekalipun tiada muncul peristiwa di simpang jalan raya. Bahkan, mereka yang berdiam diri di rumah pun merasakan ketakutan. Pasukan kecil, belasan orang, memutuskan menduduki kampung ini, menempati sebuah rumah kosong yang dijadikan pos tentara.
Keberadaan pasukan tentara di kampung Lampuki benar-benar membuat penduduk merasa ketakutan, cemas, dan gemetar. Terlebih setelah Sukijan—sang komandan pasukan—berteriak-teriak pada sejumlah orang agar tidak berkeliaran pada malam hari. Orang yang berada di luar rumah saat gelap adalah pemberontak yang hendak menyerang pos dan menciptakan kekacauan. Setelah Sukijan berteriak-teriak di Pasar dan Paijo—sang wakil komandan—mengancam penghuni perumahan, tak ada yang menyangka kalau Abdul Gani yang sudah renta itu menjadi korban. Ia ditembak tentara ketika berjalan di lahan kosong pada malam hari. Abdul Gani dituduh sebagai pemberontak yang hendak menyerang tentara. Padahal pada malam itu Abdul Gani menderita sakit perut yang hebat dan ingin buang hajat di lahan kosong tersebut. Setelah kejadian tersebut Sang Komandan Pos membualkan kebohongan kepada seluruh penduduk. Ia bersikeras menegaskan bahwa Abdul Gani adalah seorang pemberontak berbahaya, biang keladi dari semua kekacauan di Pasai.
Belum lama berselang selepas kematian Abdul Gani, disusul pula terbunuhnya dua penduduk Lampuki lainnya yang pelik untuk dipahami. Mereka adalah Tanjil dan Anwar. Tanjil merupakan pemuda keterbelakangan mental yang dipukuli tentara sampai mati di dekat pos jaga, dikeroyok serupa pendosa yang disiksa di pinggir neraka. Pembunuhan Tanjil tersebut dipicu oleh ucapannya yang mengolok-olok sejumlah orang pos dengan tingkah jenaka. “Kecil-kecil jadi tennntra! Kecil-kecil jadi tennntra! Bisa apa rupanya, hah?”. Bagi pasukan serdadu, menghina tentara sama saja menghina negara. Selang du hari selepas kematian Tanjil, tentara kembali menembak Anwar—seorang pemuda berambut gondrong--. Tentara berprasangka bahwa pemuda gondrong adalah biang pemberontakan yang sering membikin kekacauan di seputar lingkungan kampung Atas.
Kematian penduduk Lampuki yang tidak bersalah rupanya tak membuat Ahmadi merasa simpati. Ia terus melancarkan serangan terhadap pasukan tentara. Lama berlalu selepas serangkaian serangan gencar kelompok laskar kumis Ahmadi semakin masyhur. Tidak lagi sebatas rakyat jelata, julukan itu pun telah tersebar luas dan kerap terucap dari mulut serdadu sambil merapat dan menggigit gerahamnya. Lantaran kemasyhuran itu pula, ribuan bala tentara dilimpahkan ke Pasai guna mengincar dan memburu kumis itu beserta pemiliknya ke sejumlah kampung-kampung hingga ke seluk-seluk gunung. Kedatangan serdadu di Lampuki ini membuat Ahmadi menghilang. Tidak ada satu orang pun yang tahu keberadaanya. Hilangnya Ahmadi ini membuat serdadu memburu semua laki-laki yang memiliki kumis lalu mereka akan dituduh sebagai pemberontak. Tuduhan yang tidak masuk akal ini membuat semua penduduk Lampuki ketakutan, sehingga mereka memilih menyukur bersih kumis mereka agar terhindar dari sangkaan serdadu.
Setelah hampir setahun lamanya orang-orang hampir melupakannya, tiba-tiba saja, tanpa disangka-sangka Ahmadi muncul secara mengejutkan di Lampuki. Kumis itu tetap garang, selamat dari keganasan serdadu dan tiada sedikit pun tanda-tanda tersakiti, cuma saja warnanya tidak lagi hitam, melainkan telah berubah warna menjadi kelabu dengan uban di sana-sini. Ahmadi terlihat tua, kurus, lusuh, dan kerutan di mukanya semakin kentara. Keadaan ini mengabarkan bahwa selama ini dia telah mengalami berbagai kesusahan hidup yang sulit. Puteh, Musa, dan sejumlah orang lainnya, yang turut dalam rombongan kepulangan itu. Keadaan mereka semua tidak jauh berbeda dengan sosok Ahmadi yang lesu dan layu. Tentara dan polisi bergabung bersama untuk memburu pemberontak, mengakibatkan Ahmadi bersama orang-orangnya senantiasa dalam pelarian tanpa henti, yang terus menyusutkan berat badan dan kesehatan, serta membuat mereka merana dan teramat jera.
Ahmadi muncul dengan pengikut baru yang jumlahnya lumayan banyak. Sosok-sosok baru yang menyertai Ahmadi adalah para pemuda pengangguran, tiada punya pekerjaan apa pun selain keseharian mereka sibuk melamun dan duduk ongkang-ongkang di kedai-kedai kampung untuk menimbun utang tanpa pernah sekalipun mereka membayarnya. Wajah-wajah pemuda itu adalah muka jamak khas kaum Ahmadi; sedikit beringas, congkak, bebal, bengal, dan bercorak agak berandal.
Ahmadi dan belasan orang lainnya tiada menetap terlalu lama di perumahan dan di suatu tempat yang dia datangi. Tiada lebih dari setengah hari dia berada di sana untuk menjenguk anak bininya. Selepas dia menanyakan perihal gerak Sukijan dan begundalnya serta ragam kepentingan kecil lain, dalam waktu yang singkat dan terburu-buru, dia mungkin juga sempat menancapkan pancangnya di ranjang, lantas menghilang bersama kawannya, entah menuju rimba hutan yang mana. Peperangan yang terus berlarut-larut dan memakan waktu cukup panjang. Banyak juga yang jatuh korban, terutama penduduk jelata akibat bias kemarahan tentara, ada pula mereka yang terperangkap dalam adu tembak, prajurit tidak mau mendengarkan alasan lagi bahwa dia hanyalah seorang petani, yang langsung mendapat sanggahan. Di wilayah Pasai ada tiga sampai lima orang mati setiap hari lantaran kena terjangan peluru, baik disengaja maupun tidak. Belum lagi mereka yang terbunuh akibat penganiayaan yang berlangsung di pos-pos jaga sebagaimana gambaran yang pernah dialami Tanjil.
Suasana yang senantiasa mencekam di tengah-tengah ancaman yang kerap timbul oleh pecahnya perang, dan perihal itu telah berlangsung panjang serta berlarut-larut pula; dengan sendirinya semua itu berangsur-angsur berubah menjadi semacam kebiasaan sehari-hari, dan orang-orang Lampuki secara lambat laun dapat menyesuaikan diri menurut keadaan yang ada, meskipun kemalangan demi kemalangan terus berkelindan, menjerat, dan menimpa diri mereka semua. Anak-anak pun mulai berdatangan ke balai, selepas teungku Yusuf meminta izin membuka pengajian kembali pada Waluyo—Sang Komandan baru pasukan serdadu. Semakin hari, pengajian di balai teungku Yusuf menjadi lebih baik. Anak-anak mulai ceria, bersenda-gurau dengan teman-temannya, mereka terlihat sangat bahagia seolah-olah tidak berada dalam lingkungan konflik.
Kedamaian yang dirasakan penduduk Lampuki hanya sebentar. Suatu hari semua penduduk di kampung Lampuki dikejutkan oleh kejadian yang membuat mereka meloncat dari tempat tidur masing-masing. Gegap gempita ledakan bom dan letusan tembakan memaksa mereka tetap merebahkan tubuh di lantai, menelungkup, sebisanya menyusupkan anggota badan di bawah kolong ranjang untuk meringkuk sepanjang waktu, berharap dengan cara begitu mereka dapat terhindar dari desingan kitaran peluru kesasar.
Salah seorang dari pasukan tentara datang ke rumah teungku Yusuf. Tentara tersebut marah-marah dan menuduh teungku Yusuf sebagai pemberontak yang menyamar menjadi teungku. Menurut tentara tidak ada teungku yang memiliki telapak tangan kasar, kecuali pemberontak yang sedang berpura-pura menjadi teungku. Semua penjelasan teungku malang tersebut tidak diindahkan oleh tentara. Pasukan tentara itu memporak-porandakan barang-barang, merusak sejumlah benda, dan memecahkan pinggan serta gelas kesayangan istri teungku Yusuf. Mereka juga menganiaya teungku Yusuf. Sementara istrinya hanya meringkuk gemetar di sudut dapur, menutup mukanya dengan tapak tangan, mungkin karena tak sanggup melihat petaka yang sedang berlangsung di sekelilingnya.
Bukan saja teungku Yusuf yang menjadi korban kekejaman pasukan serdadu, tetapi semua penduduk Lampuki. Mereka digiring menuju meunasah untuk mengikuti program penyuluhan. Semacam penyucian pikiran agar mereka tidak menjadi pemberontak. Semua orang harus mematuhinya, jika tidak maka akan mendapat siksaan dari serdadu. Setiap gerakan akan mengundang perhatian, dan mereka yang tidak sanggup tahan langsung mendapatkan siksaan, diseret ke hadapan; dua atau tiga prajurit tampil menyiksa, membentak-bentak, sambil terus memukul, menendang, dan menginjak-injak secara sembarangan, sehingga apa yang tulang rusuknya patah, muka berdarah, dan ada yang kontan pingsan. Sejumlah prajurit kerap menyiksa dan mencari sasaran di wilayah selangkang, sambil menendang bagian situ, mereka memaki dengan ucapan sangat kotor dan keji. Ahmadi pun tak lepas dari peristiwa ini. Hal ini membuat ia kesal dengan tentara dan bersumpah akan membalas kesakitan ini suatu hari nanti.
Enam bulan kemudian Ahmadi melaksanakan juga sumpahnya. Begitu prajurit lengah, dia beserta orang-orangnya menyerang pasukan pos jaga Kampung Bawah. Empat prajurit kontan tewas terkapar. Bila saja pasukan bantuan tidak segera tiba, kemungkinan akan lebih banyak lagi korban berjatuhan. Selepas kejadian tersebut, kampung menjadi senyap mencekam. Letusan yang terjadi hampir subuh itu mengguncangkan seisi kampung. Ruang menjadi lautan deru bising, dentuman ledakan, salakan bedil, teriakan, dan makian kasar saling bersilang sahut mengumbarkan kebencian dan permusuhan hebat yang hanya bisa segera diatasi dengan tumpahan darah ke tanah. Orang-orang Ahmadi tiba-tiba berubah menjadi beringas. Menembak dan menikam prajurit yang teledor di pos jaga atau mereka yang tengah lengah di kesibukan pasar. Setelah korbannya terkapar, lantas si pelaku dapat raib menyusup, menyelinap dalam keramaian dan kepanikan orang ramai, tanpa bisa dikenali lagi dirinya.
Tindakan Ahmadi dan anak buahnya memicu kekejaman tentara. Mereka menyerang semua penduduk yang dicurigai sebagai pemberontak. Tak pelak, mayat-mayat pun sering dihanyutkan di sungai, dicampakkan di pinggir jalan, dan dibuang ke hutan tanpa diketahui siapa yang telah membunuhnya. Aku sering mendengar bahwa para korban itu diantaranya tidak dapat menunjukkan kartu penduduk akibat hilang atau tertinggal di rumah; ada pula korban yang saat ditanya ketakutan lalu dituduh sebagai mata-mata atau pemberontak. Ada pula yang memang roman mukanya kasar dan sangat mirip dengan rupa wajah pembangkang; mereka yang jari telunjuknya tebal dan kasar, dianggap kerap menarik pelatuk bedil, dan mereka ini adalah pemotong kayu dengan mesin sengso; serta banyak lainnya yang hilang diculik. Setelah hilang beberapa hari dan tanpa ada kabar berita, orang-orang malang ini kelak muncul dalam keadaan tanpa nyawa di permukaan sungai atau di pinggir jalan, semak belukar, dan di banyak tempat sunyi.
Pasukan tentara yang merajai negeri ini telah berhasil memukul mundur orang-orang perlawanan di sejumlah wilayah Pasai, dan banyak dari anggota laskar serta jelata yang jatuh korban. Setidaknya, rata-rata setiap hari ada tujuh sampai selusin orang mati dalam keadaan mengenaskan. Pembunuhan demi pembunuhan terus berlangsung. Di mana saja muncul perlawanan, ke sana pula pasukan ditumpahkan. Bedil selalu penuh peluru, ditembakkan untuk menghalau dan mengepung sejumlah orang yang berkeliaran di dekat gunung, tak peduli siapa pun; petani atau pemberontak, bentuk rupa mereka sama saja. Orang-orang berseragam itu secara bergerombol berubah liar dan beringas, melibas dan menghabisi siapa saja yang ada di hadapan, yang coba-coba menghalangi langkah kaki mereka.
Banyak penduduk Lampuki yang binasah di tangan tentara. Hidup mereka dirundung kemuraman; terkepung dan terkurung, tanpa bisa bergerak lagi. Nyawa mereka bukan lagi berada di tangan Tuhan, melainkan di ujung bedil-bedil serdadu. Wajah Ahmadi pun tiada pernah terlihat lagi. Jauh hari sebelumnya, teungku Yusuf mendengar bahwa Ahmadi beserta anak buahnya masih bertahan di sebuah kaki bukit, dan pasukan tentara masih terus memburunya. Begitu kawanan pemberontak itu muncul di pinggir hutan, mereka langsung mengejar-ngejar dengan tembakan gencar, tak jarang dihantam dari udara dengan senjata roket yang dilepaskan dari sejumlah helikopter.
Si Kumis tebal itu terperangkap, tiada bisa bergerak, dimusuhi penduduk, terkucilkan, dan semakin terpuruk di tengah kesuraman hutan. Selain itu ada pula yang mati karena kelaparan lantaran tidak bisa memamah daun-daun atau buah-buah hutan yang getir—yang tidak mengandung racun dan masih bisa dimakan—kala mereka tidak mendapatkan binatang buruan, dan ada pula yang tewas lantaran terserang banyak penyakit, terutama malaria.
Tidak terlalu lama sesudahnya, manakala matahari tenggelam, sekonyong-konyong terdengar salak tembakan dari arah tempat Ahmadi dan orang-orangnya bersembunyi. Dari letusan senjata yang nyaring dan seperti meletup-letup dalam gendang telinga itu, bukti bahwa peperangan sedang pecah di sekitar Kampung Atas. Pasukan tentara yang selama ini kerap mengintai pemberontak telah menemukan kawanan Ahmadi di sana yang sedang menyusuri pinggiran hutan. Pada hari itu juga, seluruh penduduk dicengkeram kecemasan hebat, kalut, sedih, dan pasrah. Entah sebongkah mana lagi bencana yang hendak menimpa penduduk kampung Lampuki. Semakin larut, malam pun semakin sunyi. Tak ada suara-suara, dunia ini bagaikan tak berpenghuni; semua makhluk bagai sudah mati.
Komentar
Posting Komentar