Tulisan ini memenangi lomba
'Terima Kasih Pahlawan yang diadakan surya.co.id memeringati Hari Pahlawan
November 2016'
SIAPA pahlawan hidupmu? Bila pertanyaan itu diajukan, saya akan menyebut
nama Sutejo
(49), dosen di STKIP PGRI Ponorogo dan motivator.
Setidaknya, bagi saya, dia seperti matahari yang rela berbagi sinarnya kepada
sesama, memberikan apa yang dimiliki, mencerahkan, setia menebar kebahagiaan
bagi manusia.
Beruntung saya bertemu dan
mengenal pria yang juga memiliki karakter bak matahari ini. Setia menggeluti
dunia kepenulisan, memiliki tekad dan semangat tinggi, serta mampu menularkan
inspirasi.
Kendati berangkat dari latar
belakang ekonomi pas-pasan, saat menempuh S1 di IKIP Malang (kini Universitas
Negeri Malang) Sutejo, tak sungkan menjadi penjual keliling menjajakan tas
kresek untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Baginya kemiskinan itu energi yang
menghipnotis. Saat dilanda kejenuhan, buku dan pena menjadi obat penyembuh.
“Menulis itu istri kedua saya,” canda Sutejo.
Sutejo masih mengingat, tulisan
pertamanya dimuat di koran sore Surabaya Post medio 1989 silam. Sementara baru
pada kiriman yang ke-24 tulisannya lolos muncul di koran nasional, Kompas.
Hingga kini, Sutejo
telah menerbitkan 20-an judul buku, semuanya tentang literasi. Hari-harinya
disibukkan dengan membaca dan menulis. Di kantor membaca, di warung pun
membaca, di ruang tamu hingga di kamar pun buku tak lepas dari genggamannya.
Ia seakan bersetia pada jargon
yang diugeminya, “menulis itu indah, berpikir itu merajut dzikir, berkarya itu
melukis pesona.”
Hal menarik lainnya dari sosok Sutejo,
ia tak pernah ragu menjalani kehidupan ini. Tekad dan semangat tingginya
dibuktikan di tahun 2016 ini lewat sekolah literasi gratis yang dipelopori
para penulis dan sastrawan dari kampus STKIP PGRI Ponorogo hingga hibah 10.000
buku ke sekolah SMA sederajat se-Karesidenan Madiun.
Motivasi sekolah literasi yang
berdiri akibat terlecut ucapan sahabat Ali bin Abi Thalib, “ikatlah ilmu dengan
tulisan.”
Manusia dianugerahi otak untuk
mengingat, namun ada kalanya apa yang diingat memudar karena tertumpuk ingatan
baru. Tinggallah tulisan dan karya yang menggantikan saat si penulisnya tutup
usia.
Sebut contoh, buku Habis Gelap
Terbitlah Terang, yang menjadikan RA Kartini dikenang hingga sekarang.
Bahkan, pemikiran-pemikirannya dalam buku yang diangkat dari korespondensi
dengan Nyonya Abendanon di Belanda tersebut masih relevan diterapkan di era
sekarang.
Menggugah Motivasi
Tak sekadar berteori dalam
literasi dan produktif membukukan teori, Sutejo
terbukti sanggup membangkitkan semangat dan motivasi sesama. Lewat tutur
katanya yang lembut dan mengena, seorang guru di Pacitan mengaku lebih semangat
dalam mengajar dan berbagi ilmu kepada sesama.
Bahkan, seorang kepala sekolah
mengaku terinspirasi dengan resep 7S Sutejo,
yaitu suka (cinta), semangat, sungguh-sungguh, serius, sabar, syukur, dan
senyum.
Sungguh luar biasa sengatan
matahari yang lain ini.
*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 24 Oktober 2016.
Komentar
Posting Komentar