Langsung ke konten utama

Reportase: Literasi Sains


Sebanyak ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Prodi Biologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), nampak serius saat melihat tayangan seekor kera berbuat usil dengan dua ekor harimau. Nilai yang ada dari tayangan berdurasi tujuh menit itu, di antaranya kecerdasan, kecerdikan, keunikan, dan kekreatifan.

“Fisik besar belum tentu berhasil, kalau tidak punya kecerdasan,” sindir Sutejo, saat mengisi Kuliah Umum di  ruang Auditorium Mohamad Djazman, Sabtu (23/9).

Pendiri Sekolah Literasi Gratis itu, menjelaskan di antara kecerdasan itu meliputi berpikir logis, kritis, analitis, sistematis, generalitatif, induktif, kausatif, empirik, investigatif, dan eksploratif. 

Salah satu kecerdasan utama pendidik Biologi adalah eksploratif. Dibutuhkan pengamatan dan pemahaman suatu definisi atau pengertian terkait konsep maupun pola yang dijadikan bahan penelitian. Dalam kajian filsafat, hal itu berkenaan tentang ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

“Hanya butuh rumus apa, bagaimana, dan mengapa. Saya sebut teknik ABM,” jelasnya.

Dikemas dalam bingkai literasi,  acara bertema Membentuk Karakter UTAMA (Unggul, Teramil, Aktif dan Kreatif, Mandiri, Amanah) dengan Literasi Sains dan Proses Penguatan Nilai-Nilai Keislaman ini, terasa menyenangkan ketika penulis 38 buku itu mengajak bermain peserta menjawab empat pertanyaan tentang fungsi bagian-bagian burung, mulai dari paruh hingga ekor burung.

“Terakhir, ekor burung untuk?” tanya Sutejo.

Satu per satu peserta berusaha menjawab karena Sutejo akan berbagi buku gratis. Sayang jawaban mereka kurang tepat. Sutejo pun menjawab ekor burung untuk menghitung. Satu ekor, dua ekor, sepuluh ekor, hingga seratus ekor, candanya renyah.

Pihaknya juga meminta peserta supaya mengamati lingkungan sekitar (sosial). Dimulai dari mengenali kawan terdekat, dosen, satpam, hingga nama dan letak gedung pendidikan di kampus I ini.

Sutejo juga menyinggung dalam makalahnya, tahun 2012 literasi Sains berada diperingkat 64 dari rata-rata 375 di Indonesia. Kendatipun, untuk memperbaiki konsentrasi literasi Sains dibutuhkan aspek-aspek dan kesesuaian terhadap tujuan pendidikan Nasional dalam pasal 3 UU No. 20.

Respon baik, datang dari Ketua Program Studi Biologi, Suparti, “Pribadi merasa senang melihat semangat mahasiswa menyantap materi literasi Sains. Semoga menjadi bekal sebagai pendidik kelak. Seperti yang diungkapkan Sutejo, bahwa orang literasi pasti unggul, sebab ada proses pemahaman, penyadaran, dan pemaknaan.”

*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 6 Oktober 2017.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...