Langsung ke konten utama

Cerita Anak: Mengenal Spesies Primata


Rombongan SD 2 Pangkal Ponorogo, baru saja sampai di Pusat Primata Schmutzer yang ada di Ragunan Jakarta Selatan. Nia dan Tian terlihat bersemangat usai turun dari bus. Mereka sesekali celingukan mengamati setiap sudut di kawasan Ragunan.

“Itu kan gorila!” seru Tian menunjuk salah satu hewan.

“Iya, itu juga orang utan,” susul Nia.

Dua siswa itu, berlari mendekati lokasi. Kemudian, disusul oleh guru pendamping dan siswa lain.

“Bu, primata itu apa sih?” tanya Nia saat antri membayar tiket masuk.

“Primata itu bangsa mamalia seperti kera, monyet, dan juga manusia,” jelas Bu Tia.

“Lihat itu!” seru Tia melihat beberapa kera sedang berjalan-jalan.

Usai membayar tiket, mereka diminta membaca terlebih dahulu peraturan yang telah ditulis di bagian depan kawasan. Dibantu oleh petugas jaga, mereka dituntun keliling sambil melihat aktifitas para hewan. 

Siswa-siswi kelas V terlihat menikmati. Sepanjang keliling Ragunan mereka antusias mendengarkan penjelasan dari penjaga Ragunan. Tanpa ada rasa malu, mereka bertanya ini dan itu yang tidak diketahui.

“Nah, momen yang paling disukai pengunjung adalah feeding time?” kata penjaga Ragunan.

“Feeding time?” seru siswa-siswi tidak mengerti.

“Jadi, feeding time adalah kegiatan memberikan makan primata dengan buah-buahan sudah siapkan. Kalian juga boleh memberi makanan hewan-hewan yang ada di sini,” ulasnya. 

Tanpa menunggu lama, satu per satu siswa saling berebut memberi makan hewan primata. Puas memberi makan, mereka melanjutkan perjalanan keliling Ragunan. Sampailah di suatu tempat, mereka tercengang.

“Waw, rindang sekali tempat ini!” celetuk Tia.

“Bu, itu pohon apa?” tunjuk Tata pada pohon yang diberi nama dengan huruf latin.

Acacia auriculiformis atau tanaman kormis. Kalau itu, Delonix regia atau pohon bunga flamboyan,” terang Bu Tia dengan sabar.

Semua siswa memperhatikan dengan saksama. Sesekali mereka menganggukan kepala petanda memahami penjelasan dari Bu Tia.

“Wah, keren ya. Ternyata di sini tidak saja hewan primata, tapi ada pula pohon-pohon yang beragam,” puji Tia.

Semua siswa senang berkunjung di Ragunan. Mereka mendapatkan pelajaran dan  pengalaman baru. Bu Tia pun senang melihat siswa-siswanya begitu antusias. Dengan begitu, mereka akan belajar bersahabat dengan alam—menyayangi hewan dan tumbuhan dengan cara merawat dan memberikan tempat yang layak sesuai habitatnya. Seperti orang utan dan gorila dibiarkan di alam bebas.

 “Terima kasih ya, Bu. Sudah ajak kita berkunjung ke sini. Kita sangat senang karena mendapat sesuatu yang baru,” ucap Tia keluar dari kawasan Ragunan. 

*Tulisan di atas pernah termuat di Kompas, edisi 10 Desember 2017.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...