Literasi, Literasi, dan Literasi.
Itulah judul menarik salah satu tulisan media, 19
Maret 2018. Membaca tulisan tersebut, saya teringat akan sebuah kisah seorang
laki-laki yang mendatangi Rasulullah. Laki-laki tersebut melontarkan sebuah
pertanyaan, Siapakah orang yang lebih
berhak dihormati? Rasulullah menjawab, Ibumu.
Lelaki itu bertanya lagi, Lalu siapa?
Jawaban Rasulullah sama, yaitu Ibumu,
hingga tiga kali. Lalu, orang yang dihormati keempat adalah ayah.
Membaca
kisah menarik di atas, sontak teringat salah satu penutur literasi. Seorang
penulis besar yang pernah diundang di Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI
Ponorogo. Pada kesempatan itu, pemateri mengatakan sesuatu yang diulang lebih
dari satu kali menandakan sesuatu teramat penting. Sehingga, mencerna tulisan
di atas memberi pemahaman bahwa literasi penting bagi kehidupan seseorang.
Dengan begitu, hal ini mengingatkan kita—warga Indonesia supaya memiliki jiwa
literasi. Literasi memiliki artian begitu banyak. Salah satunya adalah sesuatu
yang berkaitan atau banyak membincangkan tentang gemar membaca.
Persepsi
Masyarakat Desa
Sudah
diketahui lama memang, bahwa tingkat membaca masyarakat di tanah air sangatlah
rendah dibandingkan negara lain se-Asia. Salah satunya disebabkan karena belum
adanya pembiasaan membaca di keluarga. Orang tua sebagai role model anak di rumah tidak memberikan contoh melalui pembiasaan
diri membaca. Mereka lebih perhatian terhadap pekerjaannya dibandingkan
kebutuhan anak—nutrisi otak anak guna memasok ilmu pengetahuan.
Lebihnya
lagi, masyarakat yang tinggal di desa, kegiatan membaca adalah suatu kegiatan
yang membuang-buang waktu. Ada pendapat lain, membaca adalah kegiatan orang
pengangguran. Lebih baik bekerja mencangkul di sawah, atau menjadi tukang
daripada membaca. Sebab membaca tidak menghasilkan uang. Sedangkan mencangkul
menghasilkan uang, misal lima puluh ribu dalam kurun waktu setengah hari.
Persepsi
masyarakat desa tentang kebiasaan membaca tersebut, jelas berbeda 180 derajat
dengan anak pendidikan--sekolah. Hal itu didukung pula karena kurangnya penyediaan
buku-buku di desa. Oleh sebab itulah, beberapa wilayah desa di negara kita
mulai dimasuki oleh valunter literasi dengan membangun sebuah tempat pembacaan
buku yang disebut dengan Perpustakaan Desa. Bukti kepedulian tersebut sudah
terbukti, yakni masjid-masjid yang ada dibangun perpustakaan. Setiap masjid
memiliki rak dan buku bacaan yang diletakkan di pojok ruangan.
Sementara
itu, pendapat membaca bagi kalangan pendidikan merupakan suatu kewajiban yang
harus dilaksanakan. Pasalnya, cara belajar mereka dapat dilakukan salah satunya
melalui proses membaca, kemudian mendengar dengan diikuti diskusi kecil,
barangkali. Menurut Syafi’i ie (1993:2), menyebutkan manfaat dari membaca di
antaranya adalah memperoleh informasi dan tanggapan yang tepat, mencari sumber,
menyimpulkan menjaring, dan menyerap
informasi dari bacaan, dan mampu mendalami, menghayati, menikmati dan
mengambil manfaat dari bacaan.
Bangun Literasi
Wujud,
sebagai keberhasilan program literasi khususnya di sekolah secara sederhana
dapat diimulai dari pembiasaan membaca. Seperti program mulia yang pernah
dibeberkan, yakni melalui kegiatan membaca 15 menit sebelum memulai pelajaran.
Baik bacaan fiksi maupun non-fiksi. Selain membaca untuk siswa, dalam Gerakan
Literasi Sekolah (GLS) juga mengupayakan seluruh warga sekolah, melibatkan
guru, siswa, karyawan, dan lainnya turut berpartisipasi menyukseskan literasi
di segala bidang.
Dengan
demikian, patut dijadikan peringatan keras bahwa tulisan kolom Rumah
Pengetahuan tersebut adalah bentuk sindiran dan peringatan keras tentang
pentingnya literasi itu dibangun dan ditumbuhkan di Indonesia. Ya, mengingat
tingkat minat baca di negara kita jauh tertinggal.
Komentar
Posting Komentar