Langsung ke konten utama

Reportase: Kenalkan Ponorogo ke Thailand




Dua mahasiswa, Haris Fahrudin dan Phinta Nurlina Lutfiana mengenalkan budaya dan pariwisata yang ada di Kota Reog, Ponorogo. Mereka mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni IKIP PGRI Ponorogo dari Prodi Bahasa Inggris dan Prodi Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia.

Dua mahasiswa itu berangkat ke Thailand 20-27 Maret 2018. Bertempat di Phuket Rajabhat University Thailand mereka melakukan studi banding dalam Summer Camp 2018.

“Bahasa Inggris saya lemah, tetapi yakin dan percaya diri saja berangkat ke Thailand,” tutur Haris Fahrudin saat ditemui Senin, (2/4/2018).

Mahasiswa semester IV itu mengenalkan budaya seperti Persaudaraan Setia Hati Teratai (PSHT) dan Tari Jatil. Sementara pariwisata yang dikenalkan juga dipromosikan di antaranya Wisata Alam Telaga Ngebel, Air Terjun Pletuk, Makan Batoro Katong, Masjid Jami’ Tegalasari, Sate Ayam Tukri, dan Dawet Jabung.

“Mereka mengira di Indonesia hanya ada satu budaya. Namun, begitu mendengar pemaparan saya, banyak yang terkejut,” cerita Haris.

Phinta pun menambahkan, saat latihan Tari Jatil banyak mahasiswa Thailand yang tertarik.

“Ada beberapa mahasiswa yang ikut belajar,” katanya. Tak hanya mengenalkan Tari Jatil, mahasiswa Prodi Bahasa Inggris itu juga menceritakan sejarah Tari Jatil dan reog.

Di kesempatan lain, Haris juga bercerita PSHT hadir di Indonesia dalam rangka membentengi diri. Itu untuk menjaga diri dari musuh yang akan berbuat jahat. Komunitas itu menjaga persaudaraan dan membela yang lemah supaya harga diri tidak diinjak-injak orang lain.

Selain itu, di sana mereka tidak hanya mengenalkan Indonesia. Ada timbal balik mahasiswa Phuket, yakni mengenalkan budaya komunikasi. Hal yang menarik adalah cara masyarakat Thailand mengajak berkomunikasi.

Kunci utama yang wajib adalah menyelipkan kata kha dan khrab saat berkomunikasi. Apabila tidak menggunakan dua kata itu, dia tidak dianggap oleh lawan bicara.

“Kha sapaan untuk perempuan, sedangkan Khrab untuk laki-laki,” jelas Haris.

Belajar bahasa Thailand bagi Haris dan Phinta memang terasa sulit. Namun, kesulitan itu terasa ringan sebab saat pengenalan bahasa keduanya didampingi mahasiswa Phuket.

*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 6 April 2018.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...