Langsung ke konten utama

Reportase: Jangan Jual Budaya ke Tetangga



Aktor dalam pementasan lakon teater harus memiliki rasa sensitif tinggi. Sensitif terhadap orang lain, lingkungan, budaya, sentuhan hingga bau. Itu yang harus dipenuhi sebagai pembangun ruang imaji.

Selain itu, karakter lakon menjadi bagian terpenting agar dapat menghayati peran yang dimainkan. Itulah pesan Suprapto, pembimbing teater Wakamandini STKIP PGRI Ponorogo.

“Sensitif bukanlah sebuah ego, melainkan sensitif terhadap realita lingkungan sekitar,” tambahnya.

Pementasan teater berlangsung di Gedung Kesenian Ponorogo, Jl Batoro Katong, Ponorogo, Sabtu (21/4/2018). Pentas berjudul Jatil Ndalem Pujokusuman karya mahasiswa mengangkat cerita tentang jual-beli seni budaya dengan negara tetangga.

Tari Jatil dan kesenian reog dari Ponorogo dalam lakon itu dibeli Rp 500 juta. Pembeli berjanji akan membuat acara besar pagelaran jatil setelah berhasil memiliki seni itu.

Aksi jahat yang dilakukan Bu Siti terhadap aset budaya, dicurigai Minah, Suryo, dan Yanto. Mereka tak ingin Sanggar Ndalem Pujokusuman dengan mudah dimiliki negara lain. Pertengkaran antara Bu Siti dan anak sanggar terjadi.

“Buat apa mempertahankan budaya yang generasinya tidak bangga,” kata salah seorang lakon.

Berkat kegigihan mempertahankan hak kepemilikan, sanggar itu tidak berhasil dimiliki duta negara tetangga. Akan tetapi, transaksi uang sudah dalam genggaman Bu Siti.

“Seni tidak bisa dijual dengan uang. Itu sebagai wujud aset dan kekhasan suatu daerah, seperti Ponorogo dengan reog dan jatil,” ungkap Nanang Saryono, salah satu pengunjung.

Suprapto berpesan kepada generasi muda supaya jangan sekali-kali meninggalkan budaya hingga lupa budaya.

“Jangan sampai kehilangan jati diri dan terlena dengan kebaikan lain,” kata Suprapto.

Digelar dengan pencahayaan remang-remang, Teater Wakamandini yang berkolaborasi dengan Susun Keterampilan Bermain Sambil Belajar dari Babadan Ponorogo berhasil menyajikan peran dengan sempurna. Aksi mereka dapat menghibur dan mengingatkan pentingnya melindungi seni dan budaya.

*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 2 Mei 2018.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...