Langsung ke konten utama

Bagaimana Bahasa di Hati Bangsanya?


Momentum sumpah pemuda kembali hadir menyapa kita. Kali ini penting memaknai secara lebih serius. Tidak sekadar mengatasnamakan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Lebih dari itu, bagaimanakah andil kita sebagai generasi muda dalam merawat potensi besar Indonesia.

Tentunya kita sudah mengetahui, ragam bahasa di Indonesia. Ada sekitar 742 bahasa di seluruh Indonesia. Mulai dari pojok Sabang hingga Merauke. Setiap daerah memiliki kekhasan bahasa sendiri.

Mari ingat bersama, ungkapan Muhammad Yamin, “Bahasa menunjukkan bangsa. Tiada bahasa hilanglah bangsa.” Sejenak kita renungkan begitu vitalnya bahasa bagi suatu bangsa. Karenanya, mencintai bahasa menjadi kewajiban, yang mutlak dicintai.

Mencintai Bahasa
Mari bertanya pada diri, “Sudahkah kita mencintai bahasa Indonesia, bahasa persatuan itu?

Mencintai bahasa dari segala aspeknya merupakan wujud bagaimana seseorang memiliki rasa memiliki dan takut akan kehilangan. Menurut buku yang saya baca, ada delapan tanda cinta, yaitu pengertian, kepedulian, kerelaan, pengorbanan, nafsu, rasa memiliki, takut kehilangan, dan cemburu.
Pengertian berarti seseorang mengetahui posisi atau kedudukan bahasa sebagai bentuk simbol dan tanda. Bahasa dalam konteks ini tidak saja berwujud tulisan. Akan tetapi, gambar, simbol, dan tanda merupakan sebagai bagian dari bahasa. Sebutlah, gambar orang berjalan yang diletakkan di pinggir-pinggir jalan. Meski tak ada tulisan huruf, dari gambar itu sudah memberikan pengertian bilamana tempat untuk menyeberang. Hal itulah yang dimaksud bahasa adalah simbol juga tanda.

Sementara itu, kepedulian dan kerelaan didefinisikan bagaimana seseorang peduli untuk menjaga, merawat, dan melestarikan ragam bahasa. Bentuk kepedulian ini dapat dilakukan dengan cara memakai dan menggunakan bersama bahasa sebagai perangkat komunikasi verbal. Jika tidak, dikhawatirkan bahasa terbawa arus westernisasi atau budaya kebarat-baratan. Bukti kecil hidupnya bahasa barat ini, generasi muda sudah banyak yang menggunakan bahasa gaul, seperti kamu menjadi kamoe, sudah menjadi dah, untuk menjadi tuk, tidak menjadi gak.

Hal penting mencintai bahasa adalah adanya wujud pengorbanan. Berkorban bahasa bukan berarti harus berdarah-darah membela bahasa. Hampir sama dengan kepedulian dan kerelaan terhadap bahasa. Pengorbanan ini lebih menekankan bahasa sebagai alat komunikasi utama. Sering masyarakat kita dimanja oleh kebaikan digital teknologi. 

Tanpa harus berjumpa dengan lawan jenis, mereka mengirimkan pesan di ponselnya. Dalam hal ini, benar sama memanfaatkan bahasa. Namun rendahnya, bahasa tulis sering kali menimbulkan kesalahpahaman (misscomunication) pesan. Karenanya, bahasa lisan lebih efektif dibandingkan bahasa tulis.

Bahasa sebagai penanda identitas merupakan cerminan kedudukan dan posisi penutur dalam masyarakat. Rasa kepemilikan terhadap bahasa setiap daerah menjadi tugas bersama untuk menjunjung tinggi bahasa daerah. Sebagai contoh, masyarakat Jawa berbahasa Jawa, masyarakat Jakarta berbahasa Betawi, dan lainnya. Adanya kesadaran atas kepemilikan bahasa ini akan menjamin, bahasa daerah tetap hidup di tengah-tengah masyarakat. Karenanya ada yang nguri-nguri.
Bentuk memakai bahasa menjadi bahasa komunikasi sehari-hari merupakan bukti seseorang takut kehilangan atas kekhasan bahasa di daerahnya. Takut kehilangan ini tercermin tatkala ada orang asing yang mengaku-ngaku sebagai pemilik bahasa. Karena itu, cemburu itu pasti. 

Karenanya, wujud nyata mencintai bahasa adalah dengan melesatarikan dan menjaga penggunakaan bahasa Indonesia, yakni dengan cara mau menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Dengan begitu, eksistensi bahasa kita tidak tergeser keberadaannya atas bahasa-bahasa gaul atau kebarat-baratan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...