Tahun 2018, sebentar lagi habis. Tahun 2019, sudah
di depan mata. Berbicara tentang harapan di tahun baru, bagi saya tidak akan
cukup bila saya torehkan semuanya. Namun, dari berbagai harapan dan keinginan
yang sebenarnya ingin terwujudkan, ada satu hal yang cukup penting sebagai
bentuk pencerahan kepada generasi milenial.
Seperti yang kita ketahui, generasi milenial adalah
mereka yang lahir pada tahun 1980-1990-an hingga 2000-an awal. Bagi saya, ada
hal yang tak mengenakan kecenderungan generasi milenial saat ini. Sebagaimana
contoh, beberapa kali ketika saya bertemu atau berkenalan dengan mereka yang
notabene berkecimpung dunia tulis-menulis. Mereka selalu menyebutkan dirinya
penulis.
Pernyataan itu, terkadang membuat saya risih. Bagaimana
tidak? baru saja mampu menulis, dan kebetulan diterbitkan sudah menyebutkan
dirinya penulis. Bagi saya, seorang penulis adalah mereka yang getol, istiqomah,
dan amanah dalam dunia kata. Bukan mereka yang baru saja menyentuh, mengakrabi
dunia tulis. Penulis pula bagi saya mereka yang sudah berkecimpung lama dalam
dunia kekaryaan, sehingga sudah rentetan karya-karya yang terpublish di
media—diakui kualitas pemikiran dan gagasan yang diciptakan.
Anggapan generasi milenial semacam itu, bagi saya
mereka gila status—gila jabatan ingin disebutkan sebagai penulis. Padahal tidak
berhenti di situ, setiap karya memiliki bobot masing-masing, apalagi ketika
karya dikirimkan ke sebuah media. Tentunya, redaksi sudah memiliki kriteria
karya yang akan diterima atau dikembalikan kepada pengirim. Karena itu,
kualitas tulisan itu penting. Jangan sampai apa yang kita tulis tidak
menimbulkan pencerahan. Justru membuat pembaca bertanya-tanya.
Mengolah gagasan dan pemikiran ke dalam sebuah karya
tidak semudah gambaran di otak. Terkadang seperti yang saya alami, kita
memiliki gambaran ide mau menulis apa, bagaimana isinya, dan bagaimana
penyampaian. Akan tetapi, begitu pena dan buku siap, atau komputer sudah nyala,
secara tiba-tiba kita kesulitan menstranfer pikiran ke dalam bentuk kata-kata.
Pertanyaanya, mengapa itu terjadi?
Jam terbang di dunia menulis, pengetahuan dan
wawasan bacaan menjadi pengaruh besar dalam kekreatifan menulis. Tersebab,
penulis harus siap memertanggungjawabkan apa yang telah ditulis.
Bagi saya sebutan seorang penulis adalah sebutan
yang maha berat. Karena, apa yang kita tulis harus siap akan dinilai dan
diadili oleh pembaca. Belum-belum, semisal tulisan kita beraroma menggurui,
tanpa motivasi. Tentunya, tulisan kita akan dicurigai plagiasi. Apalagi, bilamana
menulis yang jauh dari bidang penulis.
Kendati itu pesan terindah untuk generasi milenial
adalah jangan gila status---ingin disebut seorang penulis, penyair, dan lain
sebagainya. Karena menjadi seorang penulis itu akan penuh kritik apabila kita
memaparkan suatu masalah, kemudian menyelesaikan masalah dengan cara kita lewat
cara menggurui.
Sesunggunya, setiap orang memiliki pendapat dan
solusi yang berbeda-beda. Setiap otak akan memiliki sudut pandang yang berbeda.
Karena itulah mari belajar. Seperti kata KH Mustofa Bisri, “Jangan berhenti belajar karena merasa sudah pandai.”
Komentar
Posting Komentar