Langsung ke konten utama

Reportase: Nembang Sarat Makna dari Hati

Suara emas tiga mahasiswa, Pitrias Rahayu, Miya Aliful Lutfiana, dan Aryn Dwi Handayani telah menghipnotis juri lomba Nembang Macapat  Tingkat Nasional 2019, Selasa (26/3/2019) yang lalu. Mereka adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Jawa (PBJ) STKIP PGRI Ponorogo.

Meski berangkat dalam suasana duka karena neneknya berpulang, Aryn (20) berhasil mengubah suasana bungah (suka). Ia menjadi juara 1 dalam lomba nembang yang diadakan oleh Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dalam rangka dies natalis ke-43.

“Antara senang dan tak percaya. Latihan hanya dua kali, ditambah perasaan duka empat hari sebelum lomba,” tutur Aryn saat ditemui Jumat (29/3/2019).

Bertempat di ruang sidang Gedung 3 Fakultas Sastra dan Ilmu Budaya UNS, mereka bersaing melawan mahasiswa se-Jawa dan Bali. Dhandhanggula Pengasih Slendro Songo merupakan tembang wajib.

Sementara itu, ada tembang lagi yang menjadi pilihan, Sinom Laras Pelog Pathet Barang yang dibawakan Aryn dan Asmaradana Laras Pelog Pathet Barang yang dibawakan Miya.

“Tembang pilihan saya, Sinom Laras Pelog Pathet Nem,” kata Pitrias yang mendapat juara harapan II.

Fitri, Kepala Prodi PBJ mengungkapkan, persiapan nembang kurang lebih dua minggu. Akan tetapi, latihan intensifnya hanya dua kali. Selebihnya mereka berlatih sendiri.

“Optimistis bisa!” Itu jargon Fitri untuk menyemangati mahasiswanya.

Hal utama, lafal atau pengucapan harus jelas karena menyangkut makna tembang. Nada harus sesuai dengan laras yang ditembangkan dan pemenggalan kata harus tepat.

“Konsitensi suara pun penting dijaga supaya tetap prima. Semangat bernyanyi boleh saja, tetapi energi harus dibagi. Jangan sampai suara habis, sementara lagu masih panjang,” jelas Fitri tatkala mendampingi ketiga mahasiswa itu.

Rasa takut dan gugup melihat lawan nembang sempat menghampiri mereka. Namun, mereka yakin ketakutan itu akan hilang saat di berhadapan dengan juri dan menembang dengan hati.

“Lega sekali usai tampil. Namun, debar menghias jantung karena menunggu kejuaraan. Lebih lega lagi saat diumumkan siapa yang menjadi juara,” cerita Pitrias, mahasiswa angkatan 2018 itu.

*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 11 April 2019.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...