Judul buku : Siapa Bilang Mendongeng itu Susah?
Penulis : Ida Susanti
Penerbit : CV Media Cendekia Muslim
Cetakan : Mei 2018
Tebal : i-120 halaman
Peresensi : Suci Ayu Latifah ( Mahasiswi STKIP
PGRI Ponorogo semester 8)
Dari buku yang menyoroti tentang dongeng
ini, bisa didapatkan gambaran mengapa dongeng di era digitalisasi sempat
tertinggal. Bahkan, nyaris punah karena jarang dilakukan orang tua kepada
anaknya. Buku karya Ida Susanti diterbitkan sebagai buku penyelamat, buku
pencerah, dan buku penolong budaya dongeng yang hampir punah karena
perkembangan teknologi yang pesat.
Lahirnya buku ini terilhami banyaknya
orang mengalami kesulitan ketika mendongengkan cerita kepada anaknya. Orang tua
pun, merasakan betapa sulitnya mendongeng. Terkadang waktu mendongeng ada,
tetapi anak tidak memberikan respon positif. Karena itu, buku ini hadir sebagai
panduan orang tua, guru, dan siapa pun yang ingin belajar mendongeng.
Menurut Kak Sidik, pendongeng yang sudah
keliling nusantara, jika ingin menjadi guru yang lebih dicintai anak-anak,
jadilah guru yang pandai mendongeng
sepenuh hati, karena mendongeng bermanfaat sebagai “rekaman sejarah” dan
intimasi (berbagi cerita atau pengalaman bersama) (hal. 32) . Baginya, rekaman
sejarah dapat menjadikan karya kaya akan cerita dan keunikan dari setiap daerah atau tempat yang
dikunjungi.
Buku bersampul hijau ini terdapat tiga
bagian menarik. Pada bagian pertama buku Siapa
Bilang Mendongeng itu Susah? penulis menyoroti mengapa dongeng perlu
dikembangtumbuhkan ulang. Hal itu dipaparkan penulis untuk menstimulasi
anak-anak agar mencapai perkembangan yang optimal. Hal itu ditandai dengan
kemampuan merealisasikan perilaku baik dalam kehidupan sehari-hari yang akan
menjadi suatu kebiasaan.
Perkembangan meliputi beberapa aspek,
seperti aspek agama, moral, kognitif, bahasa fisik atau motorik, sosial,
emosional, dan seni. Inilah pentingnya mendongeng diterapkan karena memiliki koherensi
dengan perkembangan anak dan manfaat yang luar biasa.
Di bagian ini, penulis juga memaparkan
manfaat dongeng menurut pakarnya. Sebutlah Kak Bimo Ardika, Master Dongeng
Indonesia, pertama sebagai jembatan untuk mendekatkan orang tua dengan anak.
Kedua, mampu menanamkan sopan santun, kedisiplinan, nilai moral, spiritual,
agama dan kognitif anak. Ketiga, mampu mengontrol perkembangan emosi, seperti
marah, gembira, empati dan kasih sayang. Dan keempat, membantu merangsang
perkembangan bahasa, melatih kreativitas, dan mengasah otak anak.
Sebagai seorang master of storytelling, strategi
mendongengnya menggunakan media boneka dari kain flanel dan suara tiruan
anak kecil. Ia mendongeng sambil mengamati anak itu, kemudian mendekati dan
bertanya nama. Anak itu pun tersenyum dan perlahan menjawab.
Bagian kedua, Ida Susanti memberikan
tips dan trik cara mendongeng dengan menarik. Pertama, kenali jenis dongeng. Di
antaranya mite, legenda, sage, fabel, dan parabel. Pengenalan ini dilakukan
supaya dongeng yang diberikan mampu membentuk karakter anak yang positif.
Kedua, kriteria mendongeng yang menarik, meliputi: (1) menggunakan kata-kata
yang komunikatif, (2) artikulasi yang jelas, (3) intonasi kalimat, (4) jeda
antarkalimat, dan (5) lengkapi dengan gestur dan mimik yang tepat.
Sebagaimana contoh, Kak Bimo dan Pak Kanto,
selalu mengutamakan gestur dan mimik untuk membantu pengekspresian cerita.
Keluwesan dalam gerak-gerik cerita menjadi nilai tambah. Karena itu, mampu
menirukan suara maupun gaya orang lain, baik anak-anak maupun orang tua. Bahkan,
suara juga gerak-gerik binatang yang akan mengundang tawa pendengar. Kemudian
ditambah dengan intonasi juga jeda yang tepat akan nampak cerita yang
disampaikan utuh.
Selanjutnya, bagian ketiga buku Ida
Susanti memberikan teknik mendongeng di antaranya (1) siapkan cerita yang
hendak didongengkan, (2) baca dan hayati jalan ceritanya, (3) kenali setiap
karakter tokoh dalam dongeng, (4) buat kesepakatan dengan anak-anak ketika
hendak mendongeng, (5) posisikan agar anak-anak merasa nyaman ketika
mendengarkan dongeng, (6) mendongeng cukup 10 menit, (7) gunakan vokal atau
intonasi yang berbeda, (8) ekspresikan kemampuan kita, (9) sesekali libatkan
anak-anak ketika mendongeng, (10) sisipkan kata, vokal, gestur tubuh, dan mimik
muka yang membuat anak tertawa, (11) gunakan alat peraga, dan (13) tanyakan
respon mereka setelah mendongeng.
Kedua belas teknik di atas, bagi Ida
Susanti mudah untuk diterapkan semua orang dihadapan anak-anak. Tanpa ada rasa
khawatir, tak harus menunggu menjadi pendongeng kelas profesional. Tetapi
cukuplah melalui panduan di atas akan menjadikan guru dan orang tua yang
dicintai dan diidolakan anak-anak.
Terakhir, puncak buku karya Ida Susanti,
memberikan referensi 25 dongeng anak usia dini. Kisah-kisah yang ada dalam
cerita tak jauh dari kehidupan anak-anak, dunia anak-anak, dan permasalahan
anak-anak, baik di lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Melalui bahasa sederhana, 25 judul itu mudah
dipahami dan diterima anak. Tujuan mendidik dengan menyisipkan nilai dan pesan
yang dapat dipahami dan diterapkan bersama. Oleh karena itu, hadirnya konflik
juga nilai dan pesan terbungkus rapi dalam cerita mampu membangun aspek
perkembangan anak.
Sayangnya, kemasan cerita tidak
disuguhkan animasi atau gambar dari setiap cerita. Padahal dengan ilustrasi
atau gambar tersebut akan menjadi nilai tambah buku. Akhirnya, siapa bilang
mendongeng itu susah, bukan lagi anggapan guru dan orang tua. Sebab, ketika mau
berproses dan membiasakan mendongeng, keyakinan untuk membangun budaya dongeng
bukan lagi sebuah impian semata. Karena sesuatu yang dibentuk dari kebiasaan
dan komitmen utuh akan berbuah baik. Sehingga, di tengah gencarnya perkembangan
teknologi, budaya dongeng masih tetap bersua dan menjadi suatu budaya yang
patut untuk diabadikan dalam membantu proses perkembangan anak-anak.
Semoga!
*Tulisan di atas pernah termuat di Kabar Madura, edisi 13 Juni 2019.
Komentar
Posting Komentar