Langsung ke konten utama

Feature Sosok: Banyak Baca Karya Asing

Penulis novel dan cerita pendek, Arafat Nur saat ini tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Tepatnya desa Ngrayun Ponorogo. Baru satu tahun di sini, banyak orang, seniman, penulis yang berburu ilmunya menulis.
Berperawakan tinggi dan berkulit sawoo matang, sosok Arafat Nur, 3-4 September lalu menjadi pusat perhatian tim gerakan Sekolah Literasi Gratis (SLG). Tergerak oleh nurani, ia berkunjung di pusat buku Sutejo Spectrum Center (SSC) Siman Ponorogo untuk bersilahturahmi dan berbagi pengalaman menulis. Ia banyak bercerita tentang proses kreatif kepenulisan, pengalaman membaca dan menulis, hingga tentang kehidupannya saat di Aceh dan Ponorogo.

Belajar menulis versi novelis yang pernah memenangkan sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun  2010 dan 2016, harus dimulai dengan membaca. Seperti yang diunggah dalam vlognya, Arafat Nur, ia menekankan untuk selalu membaca-membaca, dan membaca. Baru setelah itu menulis.

“Saya membaca novel minimal diulang sampai tujuh kali,” cerita novelis yang dulunya jurnalis di media Waspada, Sumatera Utara.

Ia bercerita suka membaca-baca karya penulis asing. Sementara karya-karya tanah air, juga banyak yang disuka, hanya beberapa. Dari beberapa membaca buku karya asing, buku yang paling berkesan seperti novel Marques dan cerpen Borges. Karena kekuatan cerita digambarkan sangat kental dan kuat melalui tokoh cerita.

Banyak tergoda dari karya-karya penulis asing, Arafat menulis dengan gaya sendiri, cara sendiri, dan tidak terpengaruh karya-karya lain. Membaca novel orang lain hanyalah pemantik supaya tulisan tidak biasa-biasa saja.

“Kalau mau belajar menulis, carilah karya-karya yang berkualitas,” ungkapnya penulis buku Lolong Anjing di Bulan (2018).

Ia menjelaskan, karya-karya yang berkualitas itu memiliki kekuatan cerita yang kuat, diksi yang pas, dan kalimat yang terukur. Terlebih, cerita menyuguhkan sesuatu keganjalan yang membuat pembaca tergerak untuk membaca isi selanjutnya.

Arafat berpesan, menulis novel tidak saja membaca novel, harus membaca buku lain yang bersifat umum. Sebutlah buku tentang kesehatan, politik, agama, hukum, sosial, adat istiadat, dan lain sebagainya. Hal itu untuk menunjang varian saat menuliskan cerita atau kisah novel.

“Seperti novel-novel yang saya baca, banyak dibumbuhi pengetahun umum,” ungkapnya menguatkan pengalaman membaca.

*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 13 September 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...