Langsung ke konten utama

Resensi Buku: Sejarah Tragedi Kemanusiaan Aceh


 
Judul               : Lolong Anjing di Bulan
Penulis             : Arafat Nur
Penerbit           : SANATA DHARMA UNIVERSITY PRESS
Cetakan           : Pertama, September 2018
Tebal               : vi-366 halaman
ISBN               : 978-602-5607-43-1

Tema perang tak luput menyuguhkan cerita mengerikan. Kekerasan, pembunuhan, darah anyir, letusan tembak, dan balas dendam mewarnai novel berlatar belakang pemberontakan. Demikian tergambar dalam novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur.

Ditulis oleh pemenang Sayembara Menulis Novel DKJ melalui novel Tanah Surga Merah (2016), awal bab—Kehadiran Orang-Orang Pejuang, digambarkan pejuang Aceh menyusun siasat melakukan perlawanan. Sebuah gerakan untuk merebut kembali apa yang menjadi milik dan hak rakyat Aceh—kekayaan hasil alam dan martabat manusia. 

Penulis kelahiran Medan, Sumatera Utara ini mengambil latar di Kampung Alue Rambe, kampung terpencil di pegunungan Aceh Utara sebelah selatan kota Lhokseumawe. Di sana terjadi perang politik Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada periode 1976—2005.

Lhokseumawe, kota subur dengan hasil alam melimpah. Di ladang dan kebun ditanami kacang tanah, tomat, mentimun, rambutan, durian, pinang, pisang, melinjo, kakao, kunyit, dan tetumbuhan lain yang dapat dijual. Ironinya, rakyat Aceh tidak dapat menikmati hidup dari hasil alamnya. Kalau tidak diangkut ke Jakarta (rakyat Aceh seperti sapi perah), ya harga jualnya rendah. Hidup rakyat Aceh melarat. Orang tua tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya. Petani-petani miskin, makan beras catu murah yang dijual di Pasar Buloh Blang Ara.

Tragedi Kemanusiaan
Pejuang dari tanah Aceh, Arkam bertekad melawan penindasan dan ketakadilan. Berlatih keprajuritan selama setahun di Libya. Dia siap perang—membunuh dan menembak tentara pembuat kerusuhan. Mereka lupa, rakyat Aceh telah menyumbang pesawat Garuda dan bongkahan emas untuk dipajang di puncak tugu nasional depan istana pada masa Presiden Soekarno. 

Arkam menjadi buronan setelah membunuh dua serdadu. Sebelum, dan akhirnya tertangkap dan tewas, banyak rakyat Aceh berjatuhan. Adalah rakyat yang tidak tahu apa-apa dan dicurigai pasukan pemberontak. Tokoh Kakek dan Ayah lebih dulu tewas karena dicurigai pemberontak. Baiti menjadi korban pemerkosaan tentara. Rakyat Aceh lain tubuhnya; disiksa, ditampar, ditendang, dan diinjak supaya jera. Barulah, mereka yang melawan tentara peluru akan menyasar ke dada, kepala, kaki, dan bagian tubuh lain. 

Nazir, anak kecil kelahiran 1976 mengalami ketakutan terhadap tentara pemerintah. Orang-orang berseragam loreng itu seringkali menyusup di kampungnya. Dia merindu kampung yang damai. Tidak diliputi kecemasan, kegelisahan, ketakutan, dan kesedihan tiada henti. Di tengah perang politik, kehidupan Nazir dibilang beruntung dibanding teman-temannya. Anak kampung Alue Rambe tidak banyak yang bisa sekolah. Kalau pun bersekolah hanya tamat SD. Sedangkan Nazir bisa tamat SMA.

Keluarga Nazir, saban hari disibukkan dengan urusan pertanian. Menanam kacang tanah, mencabuti perdu-perdu kunyit, mencangkul tanah, membersihkan kebun pinang, memangkas pohon mangga, dan masih banyak lainnya. Aroma kebersamaan, kekeluargaan, dan keakraban bercahaya di keluarga Nazir. Anak polos dan lugu ini, mulanya sangat membenci kekerasan. Tetapi, begitu iblis tentara merenggut keluarganya, muncullah jiwa perlawanan—dendam kematian. 

”Orang-orang yang tak tega menghardik kucing yang mencuri ikan tiba-tiba terbukti sanggup membunuh manusia” (hal. 33).

Kematian, membawa duka bagi siapa saja. Demikian dirasakan Nono, seekor anak anjing dalam keadaan sakit yang ditemukan di jalan kampung Ceumpeudak. Arafat menggambarkan selepas kematian ayah Nazir, anjing yang menuntun tokoh Muha menemukan jasad juragannya, berhari-hari mendekami kuburan. Matanya menyimpan gelombang kesedihan. Nazir memintanya pulang untuk menjaga rumah dan ladang. Anjing itu tidak berkutik. 

“Sekalipun anjing berasal dari ludah iblis, ia sangat setia pada manusia. Kesetiaan anjing tidak sebanding dengan kesetiaan manusia...” (hal. 188).

Novel dengan tebal 366 halaman ini menjadi buku sejarah Aceh. Gaya penceritaan yang hidup, detail, mengalir, dan apik sempurna sudah mengaduk-aduk gejolak jiwa pembaca. Pembaca dapat merasakan kecemasan, katakutan, dan kesedihan rakyat Aceh pada masa itu. Rakyat Aceh di Lhokseumawe diancam dan ditindas. Dan, selalu ada saja korban saban harinya.

Tindakan kekerasan dideskripsikan penulis secara baik—betapa tak manusiawi perlakuan tentara pemerintah kepada rakyat Aceh. Juga, tentang perlawanan rakyat Aceh benar dikupas mulai dari pejuang pertama Arkam dan pasukannya. Kemudian, Ahmad Kandang, ahli perakit bom. Dan Raiyan, teman Nazir terceritakan secara detail.  

Perang politik tak berperikemanusiaan, saban hari dihiasi dengan letusan peluru. Tangis, jerit, dan lolongan anjing seolah-olah menandakan betapa kering nilai kemanusiaan. Rakyat Aceh, kaum adam berkurang satu per satu. Kaum hawa Aceh, tidak memiliki harapan dan masa depan—sudah tidak bersekolah, malah diperdaya. Bahkan, beberapa menjalin hubungan gelap dengan tentara. 

Sungguh, novel bersampul anjing melolong malam hari wajib dibaca, utamanya generasi muda. Kita dapat belajar kegigihan dan semangat juang rakyat Aceh dari kekerasan dan ancaman. Hadirnya novel ini dapat membuka kita untuk memperjuangkan harta dan martabat manusia. Serta, membangun jiwa kemanusiaan pemerintah untuk tidak bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakat. Janganglah kita saling menjajah negara sendiri dengan kekuasaan.

Blood Moon Over Aceh adalah terjemah Lolong Anjing di Bulan dalam bahasa Inggris, yang diterbitkan oleh Dalang Publishing, Amerika Serikat tahun 2018. (Peresensi, Suci Ayu Latifah.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...