Barangkali, nasib Arafat Nur serupa dengan Seno Gumira Ajidarma, dan sastrawan lainnya. Sastra dijadikan peraduan suara hati mengungkap kebenaran. Keduanya, melepas jaring kebusukan yang membombardir pikiran.
Karya-karya Arafat—baik novel maupun cerpen dapat dikatakan sebagai sebuah kritik pedas terhadap kekuasaan. Arafat memotret kekuasaan, menelanjangi persoalan duniawi. Arafat pula, merepresentasikan budak-budak tanah air dengan sejumlah ketakutan, kecemasan, dan kegelisahan. Perasaan itu berkecambuk, tiada siang maupun malam.
Bayangkan, dalam penceritaan yang detail, kronologis, dan ekspresif kita digiring melalangbuana melihat dan merasakan konflik antara pemerintah dan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976-2005. 29 tahun, bukanlah waktu yang singkat melukis luka di tanah air. Seolah-olah di belahan bumi Aceh tampak kemengaliran darah daripada korban-korban kebisingan.
Konflik di tahun-tahun pembantaian (sebut Arafat) banyak menyita prihatin publik, apabila terjadi saat ini. Sebagaimana virus korona yang menitip inang pada manusia. Sayangnya, pers belum memiliki kebebasan dalam hal pemberitaan. Kekuasaan pemerintah terlalu otoriter, ada batasan dalam segala hal. Itulah salah satu jalan terakhir wartawan juga sastrawan menulis fiksi, yang sesungguhnya penuh risiko.
Sebelum lengsernya Soeharto, semua informasi dipagari oleh pemerintah. Ketidakgamblangan informasi dirasakan Seno sebagai wartawan yang diperintahkan langsung liputan di Dili tahun 1991 dalam peristiwa pembantaian di Santa Cruz. Selepas itu, terciptalah beberapa sajak, novel, dan catatan jurnalis sebagai katarsis, keterbungkamannya.
Itu pula dirasakan penulis Lampuki (Gramedia, 2019) sebagai wartawan Aceh pada masanya. Tak ayal tercipta beberapa teks sastra beraroma sejarah Aceh. Kebuasan pemerintah selama 29 tahun, bukanlah sejarah yang singkat. Bukan suatu yang salah, meminjam ungkapan Sartono Kartodirjo, sastra menjadi pisau membelah fatamorgana kehidupan.
Membaca satu per satu karya Arafat, bersiap menikmati rentetan sejarah pemikiran. Arafat pantaslah disebut sebagai filsuf. Ia sosok pemikir dan pengkritik, pekerjaannya adalah melamun (berenung). Pekerjaan ini halnya dilakukan orang-orang besar dunia. Sebutlah Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Leonardo Da Vinci, Isaac Newton, dan puluhan orang besar lain.
Mereka melamun, tepatnya merenung memikirkan sesuatu untuk menuangkan suatu gagasan pemikiran. Terbukti, Einstein dengan pemikirannya tentang alam dan manusia, menciptakan hukum relativitas. Thomas, dengan penemuannya lampu pijar, kemudian Newton dengan gaya gravitasi.
Demikianlah penulis Kawi Matin di Negeri Anjing (Basabasi, 2020), mengingatkan pada sebuah lagu Iwan Fals Doa dalam Sunyi. Merenung seperti gunung/ mengurai hidup dari langit/ jejak-jejak yang tertinggal/ menyimpan rahasia hidup/. Kutipan lirik lagu mengungkap merenung adalah suatu kegiatan berpikir—menemukan nilai dan makna kehidupan yang menyimpan rahasia kehidupan itu sendiri. Begitupula dengan teks sastra, berbekal cerita naratif, dialogis, interaktif, dan estetis yang dinukil dari kias kehidupan sastrawan. Bukanlah sekadar cerita rekaan yang miskin ilmu pengetahuan.
Arafat adalah saksi fenomena kekuasaan. Ia pengamat, sekaligus korban kekuasaan politik secara langsung. Arafat diculik karena dicurigai mata-mata pejuang. Ia digiring ke tengah hutan hendak dibunuh. Sementara itu, rumahnya habis dibakar, ibu dan ayahnya sakit, dan akhirnya meninggal (ibu). Di tengah perang politik, ia bertahan hidup dengan kerja serabutan. Hidupnya tak lain serupa tokoh Nazir pada novel Lolong Anjing di Bulan (Sanata Dharma, 2018), Saidul di novel Bayang Suram Pelangi (Diva Pres, 2018), dan Kawi novel Kawi Matin di Negeri Anjing (Basabasi, 2020).
Kesaksian hidupnya amat tragis dan dramatis kemudian dikatarsis dalam karya sastra novel seperti, Burung Terbang di Kelam Malam (2014), Percikan Darah di Bunga (2017), Bulan Kertas (2017), Lolong Anjing di Bulan (2018), Bayang Suram Pelangi (2018), Lampuki (2019), Tanah Surga Merah (2019), Tempat Paling Sunyi (2019), Hari Mulai Terang (2020), Kawi Matin di Negeri Anjing (2020), kumpulan cerpen Serdadu dari Neraka (2020), dan masih banyak lainnya.
Mendedah karya sastra Arafat, sesungguhnya mengingat ulang tentang Aceh pada masanya. Harus diakui, karya-karya Arafat merupakan representasi sejarah pada masanya. Tema kekuasaan menjadi ide utama kekaryaannya. Patuh terhadap pesan Pram, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Arafat abadi—menulis sejarah dengan gaya bercerita yang lebih enak dibaca daripada buku-buku sejarah.
Tak ayal, karya-karya Arafat merupakan dokumentasi sejarah yang akan dan tetap abadi. Arafat bergerak memandang dunia sarat dengan ungkapan-ungkapan ideologi. Dalam karya-karyanya itu, Arafat melontarkan keras gagasan bernuansa komentar dan kritik terhadap ketidakberesan politik pemerintah. Karya semacam ini dapatlah disebut sastra politik serupa Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis, atau Tirani dan Benteng karya Taufik Ismail. Dalam proses pemolesan latar cerita, pengarang tidak melupa menggambarkan perilaku dan psikologi rakyat Aceh dalam tekanan suatu ideologi politik.
Sebutlah, novel Kawi Matin di Negeri Anjing merupakan salah satu potret kritik kekuasaan terhadap pemerintah. Melalui tokoh Kawi, pengarang memotret betapa seseorang yang memiliki kekuasaan (jabatan) bertindak semena-mena. Hukum tidak lagi menegakkan kebenaran dan keadilan bagi oknum yang salah, yang ada hanyalah politisasi orang besar. Mereka menginjak-injak rakyat kelas bawah, kaum marjinal.
Kritik kekuasaan tersebut mengingatkan pada peribahasa Jawa, asu gedhe menang kerahe. Artinya, pangkat tinggi pasti lebih menang dalam berpekara. Mestinya, Darwis anak kepala kampung dihukum untuk kedua kalinya. Namun, ketakadilan kembali diterima Kawi. Pertama kekerasan fisik terhadap dirinya dan kedua pemerkosaan Neng Peung, adiknya.
Keadilan, hanyalah mimpi bagi rakyat kelas bawah. Selamanya, asu cilik hanya akan menjadi korban dari asu gedhe. Seberapa gencar menuntut keadilan, gonggongan asu cilik tidak berarti apa-apa. Kecuali, asu cilik gigih mengumpulkan komplotan untuk menyergap asu gedhe. Namun, realitas ini akan berbalik ketika kasus yang menimpa asu cilik. Dengan mudah, asu-asu gedhe seolah kesepian perkara. Itulah politisasi, besar menjadi kecil, kecil menjadi sangat besar.
Sastra, derit jerit tentang kebenaran. Semoga tanah air mampu berdiri, menjelaskan putih adalah putih, bukan hitam-putih.
Suci Ayu Latifah,
komunitas Sutejo Spectrum Center. Alumnus STKIP PGRI Ponorogo
Komentar
Posting Komentar