Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

To Be Happy

10 hari lagi, ada beberapa hal yang akan berubah. Ketika aku benar menjadi seseorang yang dapat dipercaya orang lain. Doaku adalah kepercayaan jangan disia-siakan. Menjadi seseorang terpercaya adalah suatu hal yang tidak mudah. Seseorang, begitu pula aku butuh pertimbangan atas sebuah gambaran ke depannya. Karenanya, menjadi seseorang, menjadi 'aku' hanya aku yang dapat merasakan seutuhnya. Kamu, kalian, dan mereka hanya bisa menilai, tanpa turut merasakan tentang kebenaran fisik dan psikis. Yang pasti, tidak mudah. Don't forget to be happy, Suci. Jangan lupa bahagia. Sejenak lupakan penilaian-penilaian kurang baik tentangmu. Jadilah pribadi yang sehat. Masa depan menunggumu...

Surat untuk Mas Fendik (24)

Sering sekali, orang-orang melihat orang lain pada saat ini. Saat ia berada pada roda kehidupan yang cukup, bahkan amat mulia. Mereka lupa, untuk menuju ke sana, perlu melewati ribuan goda hidup. Yang aku tahu, untuk menjadi 'Aku' tidak muda. Ada proses, perjalanan panjang. Seperti halnya aku. Puji Tuhan, berada pada titik ini. Menengok lima tahun lalu, tujuh tahun lalu, sepuluh tahun lalu, hingga pada dua puluh empat tahun lalu.  Dunia teramat asing bagiku. Tangis adalah cara bahasa yang paling efektif untuk merepresentasikan apa yang kulihat, dengar, dan rasakan. Suara ibu, sentuh ibu, hingga pada pengenalan jejak langkah ibu, juga orang-orang di sekitarku. Menuju ke sana, aku berlatih ulang, sangat lambat untuk sekadar mengenali diri. Bahkan, hingga pada hari ini terkadang aku lupa siapa aku. Identitas sering alpha dalam pikiran. Nyatanya, pertanyaan tentang siapa aku masih terus memberondong. Cerita dari cerita-cerita orang sekitar, pertanyaan itu akan senantiasa skeptis hi...

Surat untuk Mas Fendik (23)

Terkabar dari aku yang sedang istirahat ini, tanpamu dalam pengertian lain, entah pada di titik mana sekarang ini.  Hadirnya, hadirmu membuka catatan suci, suatu sifat dan sikap masa kecil.  Kau tahu, Mas tiada lara yang lebih pedih daripada kehilangan. Hilang, berarti tiada. Bisa kembali, dan pergi selamanya, disebut kematian.  Indah doa, lurus jalinan asmara karena doa. Doamu, doa kita pada sujud harapan. Aku tahu, tiada salah seseorang berharap. Bukannya tanpa harapan mengisyaratkan kurangnya greget hidup?  Mas Fendik, kasihmu dalam.  Terima kasihku atas rasa datang-pergi tak duga. Yang ada, kepingan-kepingan bersamaan tetap abadi, kini dalam aksara. Akrab bersama potongan cita dan cinta mengajak ulang mengingat pada suatu harapan besar menjadi orang besar. Orang yang tunduk pada norma, aturan, dan adat istiadat, serta kepercayaan juga keyakinan diri.  Berjuang memilih cita dan cinta, tentu dukungan adalah segalanya. Dirimu yang terpercaya atas kedewasaa...

Surat untuk Mas Fendik (22)

Mas Fendik, 14 Januari 2021 lalu, aku mengikuti sebuah diskusi rencana pembuatan media sastra online. Diskusi itu berada di salah satu tempat yang kini aku tempati. Ya, ada sekitar sepuluh orang, dua di antaranya aku dan temanku, lainnya laki-laki. Senang, pastinya karena aku rindu suasana semacam ini. Pagi menjelang siang kami memulai perbincangan itu. Yang ingin aku ceritakan kali ini kepadamu adalah sebuah kepercayaan dan tanggung jawab. Mengapa kukatakan kepercayaan? karena sejauh ini aku dipercaya untuk membantu kampus dalam beberapa program. Kalau di tahun lalu 2016-2017 bergabung dalam kepanitiaan Sekolah Literasi Gratis, dan kini, aku lagi-lagi dipercaya untuk bergabung lagi. Bukan menjadi panitia SLG, melainkan humas bayangan dan admin dua media online kampus.  Oh ya, maaf, dua media online inilah yang kami diskusikan waktu itu. Kedua media itu bernama lensasastra.id dan literasigratis.id. Pertanyaannya adalah, pastinya kau akan menanyakan tentang peran dan tugasku di sana...

Pertemuan Waktu

  Pada sebuah catatan yang tidak rapi, kau hidup sebagai aksara. Aku tidak tahu kegilaan itu terbuat dari apa. Yang jelas, aku benar-benar gila setelah kau putuskan untuk meninggalkan musim tahun ini. Kesekian kalinya, catatan itu aku tata ulang. Dari satu lembar hingga ratusan lembar lainnya. Kuletakkan di atas meja bersebelahan dengan berkas-berkas kuliah yang tidak penting. Kembali, di antara kesibukan hujan meneror bumi, juga petir yang marah-marah, catatan itu berusaha aku rapikan. “Sampai kapan selesai?” tanya Parki, teman kos yang bukan lagi teman, melainkan saudara. Tiga tahun sudah kami serumah. Mengontrak sebuah rumah kosong yang harganya paling murah di antara rumah-rumah lainnya. Parki mengaduk-aduk kopinya. Ia duduk di sofa. Kakinya yang mengakang membuat kentara celananya yang sobek. Bukan suatu lelucon, memang tidak ada celana yang ia miliki tidak sobek. Entah pada sakunya, atau bagian samping atau pada tengah selangkangan. “He, bodoh kupastikan tidak akan ...