Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (24)

Sering sekali, orang-orang melihat orang lain pada saat ini. Saat ia berada pada roda kehidupan yang cukup, bahkan amat mulia. Mereka lupa, untuk menuju ke sana, perlu melewati ribuan goda hidup. Yang aku tahu, untuk menjadi 'Aku' tidak muda. Ada proses, perjalanan panjang.

Seperti halnya aku. Puji Tuhan, berada pada titik ini. Menengok lima tahun lalu, tujuh tahun lalu, sepuluh tahun lalu, hingga pada dua puluh empat tahun lalu. 

Dunia teramat asing bagiku. Tangis adalah cara bahasa yang paling efektif untuk merepresentasikan apa yang kulihat, dengar, dan rasakan. Suara ibu, sentuh ibu, hingga pada pengenalan jejak langkah ibu, juga orang-orang di sekitarku.

Menuju ke sana, aku berlatih ulang, sangat lambat untuk sekadar mengenali diri. Bahkan, hingga pada hari ini terkadang aku lupa siapa aku. Identitas sering alpha dalam pikiran. Nyatanya, pertanyaan tentang siapa aku masih terus memberondong.

Cerita dari cerita-cerita orang sekitar, pertanyaan itu akan senantiasa skeptis hingga pada tua--hingga kematian benar-benar menyapa. Manusia kita, tidak pernah merasa puas pada titik ini. Tak jarang manusia, kita bersyukur atas hari pagi, siang, hingga malam. 

Aku belajar bersyukur daari hal paling kecil, adalah bernapas misalnya. Kebayang anugerah itu tidak menyapa pagiku. Hmm. Sebenarnya aku takut, tapi perlu untuk mengingat untuk menambah syukur.

Mas Fendik, aku ini katamu seorang penulis. Penulis yang kritis dan bijak menyikapi segala informasi. Kau tahu Mas, jauh pada persepsimu, terkadang aku meragu dengan apa yang aku tulis. Keegoisanku, terkadang tak andil untuk menjauhkan dari rasa tidak percaya diri. Padahal, dulunya itu penyakitku. Apa aku kelewatan mengurai persentasi rasa percaya diri?

Rasaku mengenali diri, lebih banyak diam dalam aksara. Dalam diamku, sering sekali menggeruti atas kekesalan yang tidak jelas. Salah satu penyebabnya adalah ketika aku tidak mampu menyalin pikiran dalam aksara. Otakku terlalu penuh dengan bebera[a infomasi yang kukenal, dan bahkan amat asing. Suara-suara seakan menggebu ketika aku diam. Mendadak informasi lama turun mawujud. Aku jadi takut terhadap diriku sendiri.

Karenanya, sering kau temui aku dalam keadaan tengah atau usai menangis, melamun, dan lain sebagainya. Kau tahu, di saat-saat itu pikiranku sedang penuh. Butuh sebuah pembuangan sekadar untuk menikmati kelegaan diri. Meski katamu aku berteman dengan aksara, pada  titik-titik tertentu, aku perlu wujud nyata (manusia) untuk mendengar.

Punyai rasa marah, kesal, dan jengkel kepada mereka memandangku sekarang. Lulus dengan nilai terbaik, mendapat pekerjaan di kampus sendiri, banyak memberi kabar di beberapa tempat, nongol di beberapa media dari tulisan, banyak teman dari berbagai daerah, dan seabrek penilaian mereka terhadapku. 

Senyumin saja, yang mereka tahu adalah aku sekarang. Mereka, sebagian tidak tahu bagaimana aku, proses mendapat nilai terbaik, dikenal orang dari tulisan, membangun relasi dan menjadi kepercayaan orang lain. Itu, semua ada proses. Aku melewati semua dengan sabar. 

Hmm, lima tahun aku meredam segalanya demi mendapati itu. Bukan suatu pencapaian sebenarnya. Adalah bonus dari apa yang aku lakukan. Aku ingat, hasil akan berbanding lurus dengan usaha. Tiada hasil tanpa usaha, itu pasti.

Mas Fendik, pastinya bisa merasakan pada posisiku. Kau yang dari awal menemani dengan tekun. Aku tidak mengerti kesabaran dan ketabahan macam apa yang ada dalam dirimu, sehingga mampu menyeimbangkan emosi. Penting aku belajar padamu. Meminjam sabar dan tabahmu dalam segala hal. Doakan, kebaikan mengalir dalam diri. Menjadi pribadi yang rendah hati, amanah, dan tabliq.

Kiranya, meski kau tiada. Namamu tetap mewangi. Seperti Kartini, Soekarno, Hatta, dan orang-orang besar lainnya. Mereka tiada, namun apa yang dilakukan mewangi hingga detik ini. Doaku, semoga kita bisa mengikuti jejaknya dengan keterampilan diri. Mas Fendik, don't forget to be happy!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...