Sering sekali, orang-orang melihat orang lain pada saat ini. Saat ia berada pada roda kehidupan yang cukup, bahkan amat mulia. Mereka lupa, untuk menuju ke sana, perlu melewati ribuan goda hidup. Yang aku tahu, untuk menjadi 'Aku' tidak muda. Ada proses, perjalanan panjang.
Seperti halnya aku. Puji Tuhan, berada pada titik ini. Menengok lima tahun lalu, tujuh tahun lalu, sepuluh tahun lalu, hingga pada dua puluh empat tahun lalu.
Dunia teramat asing bagiku. Tangis adalah cara bahasa yang paling efektif untuk merepresentasikan apa yang kulihat, dengar, dan rasakan. Suara ibu, sentuh ibu, hingga pada pengenalan jejak langkah ibu, juga orang-orang di sekitarku.
Menuju ke sana, aku berlatih ulang, sangat lambat untuk sekadar mengenali diri. Bahkan, hingga pada hari ini terkadang aku lupa siapa aku. Identitas sering alpha dalam pikiran. Nyatanya, pertanyaan tentang siapa aku masih terus memberondong.
Cerita dari cerita-cerita orang sekitar, pertanyaan itu akan senantiasa skeptis hingga pada tua--hingga kematian benar-benar menyapa. Manusia kita, tidak pernah merasa puas pada titik ini. Tak jarang manusia, kita bersyukur atas hari pagi, siang, hingga malam.
Aku belajar bersyukur daari hal paling kecil, adalah bernapas misalnya. Kebayang anugerah itu tidak menyapa pagiku. Hmm. Sebenarnya aku takut, tapi perlu untuk mengingat untuk menambah syukur.
Mas Fendik, aku ini katamu seorang penulis. Penulis yang kritis dan bijak menyikapi segala informasi. Kau tahu Mas, jauh pada persepsimu, terkadang aku meragu dengan apa yang aku tulis. Keegoisanku, terkadang tak andil untuk menjauhkan dari rasa tidak percaya diri. Padahal, dulunya itu penyakitku. Apa aku kelewatan mengurai persentasi rasa percaya diri?
Rasaku mengenali diri, lebih banyak diam dalam aksara. Dalam diamku, sering sekali menggeruti atas kekesalan yang tidak jelas. Salah satu penyebabnya adalah ketika aku tidak mampu menyalin pikiran dalam aksara. Otakku terlalu penuh dengan bebera[a infomasi yang kukenal, dan bahkan amat asing. Suara-suara seakan menggebu ketika aku diam. Mendadak informasi lama turun mawujud. Aku jadi takut terhadap diriku sendiri.
Karenanya, sering kau temui aku dalam keadaan tengah atau usai menangis, melamun, dan lain sebagainya. Kau tahu, di saat-saat itu pikiranku sedang penuh. Butuh sebuah pembuangan sekadar untuk menikmati kelegaan diri. Meski katamu aku berteman dengan aksara, pada titik-titik tertentu, aku perlu wujud nyata (manusia) untuk mendengar.
Punyai rasa marah, kesal, dan jengkel kepada mereka memandangku sekarang. Lulus dengan nilai terbaik, mendapat pekerjaan di kampus sendiri, banyak memberi kabar di beberapa tempat, nongol di beberapa media dari tulisan, banyak teman dari berbagai daerah, dan seabrek penilaian mereka terhadapku.
Senyumin saja, yang mereka tahu adalah aku sekarang. Mereka, sebagian tidak tahu bagaimana aku, proses mendapat nilai terbaik, dikenal orang dari tulisan, membangun relasi dan menjadi kepercayaan orang lain. Itu, semua ada proses. Aku melewati semua dengan sabar.
Hmm, lima tahun aku meredam segalanya demi mendapati itu. Bukan suatu pencapaian sebenarnya. Adalah bonus dari apa yang aku lakukan. Aku ingat, hasil akan berbanding lurus dengan usaha. Tiada hasil tanpa usaha, itu pasti.
Mas Fendik, pastinya bisa merasakan pada posisiku. Kau yang dari awal menemani dengan tekun. Aku tidak mengerti kesabaran dan ketabahan macam apa yang ada dalam dirimu, sehingga mampu menyeimbangkan emosi. Penting aku belajar padamu. Meminjam sabar dan tabahmu dalam segala hal. Doakan, kebaikan mengalir dalam diri. Menjadi pribadi yang rendah hati, amanah, dan tabliq.
Kiranya, meski kau tiada. Namamu tetap mewangi. Seperti Kartini, Soekarno, Hatta, dan orang-orang besar lainnya. Mereka tiada, namun apa yang dilakukan mewangi hingga detik ini. Doaku, semoga kita bisa mengikuti jejaknya dengan keterampilan diri. Mas Fendik, don't forget to be happy!
Komentar
Posting Komentar