Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (22)

Mas Fendik, 14 Januari 2021 lalu, aku mengikuti sebuah diskusi rencana pembuatan media sastra online. Diskusi itu berada di salah satu tempat yang kini aku tempati. Ya, ada sekitar sepuluh orang, dua di antaranya aku dan temanku, lainnya laki-laki.

Senang, pastinya karena aku rindu suasana semacam ini. Pagi menjelang siang kami memulai perbincangan itu. Yang ingin aku ceritakan kali ini kepadamu adalah sebuah kepercayaan dan tanggung jawab.

Mengapa kukatakan kepercayaan? karena sejauh ini aku dipercaya untuk membantu kampus dalam beberapa program. Kalau di tahun lalu 2016-2017 bergabung dalam kepanitiaan Sekolah Literasi Gratis, dan kini, aku lagi-lagi dipercaya untuk bergabung lagi. Bukan menjadi panitia SLG, melainkan humas bayangan dan admin dua media online kampus. 

Oh ya, maaf, dua media online inilah yang kami diskusikan waktu itu. Kedua media itu bernama lensasastra.id dan literasigratis.id. Pertanyaannya adalah, pastinya kau akan menanyakan tentang peran dan tugasku di sana.

Pertama, peran dan tugasku di humas bayangan adalah memback-up berita-berita tentang kampus. Seperti yang sudah-sudah semua berita, kabar, dan apa pun tentang kampus, selalu menjadi bahan berita. Di situ, aku diberi amanah untuk menarasikan, mengabarkan apa yang terjadi dan akan terjadi di kampus. Semacam bentuk news, nantinya.

Selain itu, humas bayangan berusaha merangkai catatan-catatan wawancara dari para alumni untuk dibuat tulisan semacam feature tokoh. Di sini, sudah kupastikan aku akan banyak berkenalan dengan kakak-kakak angkatan di kampus. Ya suka, karena semakin banyak teman, sekaligus semakin berilmu, ada sesuatu yang penting aku curi darinya.

Untuk mendapat informasi itu, aku menghubungi langsung narasumber. Kebayang, aroma kekerabatan harus aku jalin, berusaha membangun komunikasi yang baik, dan harapnya draf wawancara yang aku susun terselesai. Selanjutnya, perlahan dengan keakraban mesin ketik dan layar monitor aku akan menuliskan tentangnya. Hal-hal menarik darinya, keunggulan, hingga pada titik-titik paling rendah yang mampu membuatnya bangkit dari keterpurukan, atau barangkali kesedihan. Yang aku tahu, tidak ada orang berhasil tanpa melewati proses yang disebut kegagalan.

Tentang menulis feature tokoh, insya allah sudah cukup ilmu tentang itu. Bahkan, sering kali aku menulis feature semacam itu. Barangkali hampir 30-an orang lebih. Mereka di antaranya dosen, guru, penulis, tokoh pendidikan, perawat, penyanyi, mahasiswa, pelajar, anak MTQ, wartawan, teman sebaya, dan masih banyak lagi.

Kebetulan, latihan itu sejak lama kupelajari di tahun 2015. Aku mulai menulis jenis tulisan serupa di salah satu media cetak koran Harian Surya. Di situ, aku disebut citizen reporter. Siapa pun orang dan tulisannya yang termuat di situ disebut citizen reporter. Dari situlah aku belajar, dan dari situ pula gejolak literasi dalam diriku tumbuh perlahan, hingga akrab sampai aku tidak menyadari orang-orang menilai keterampilanku menulis.

Aku bersyukur tentang itu. Berkat aku, kamu, keluarga, dan orang-orang di sekitarku.Tanpa mereka, dalam arti yang benar mendukung, entahlah sampai mana kesenanganku menulis mengembara. Aku sangat bersyukur berada di titik sekarang ini.

Kedua, tentang peran dan tugas menjadi admin media online. Sekali lagi, dua media itu adalah milik kampus. Dengan kata lain, aku mengemban tugas dari kampus. Itu artinya, setelah kelulusan di tahun 2015 lalu, kembali aku terpanggil membersamai program kampus. 

Peran dan tugasku di sana adalah ya mengolah media itu semenarik mungkin, dan memposting tulisan-tulisan yang berhasil dikurasi oleh redaksi. Oh ya, aku lupa. Kedua media itu menerima tulisan dari luar (umum). Di antaranya ada jenis tulisan puisi/geguritan, cerpen/cerkak, esai sastra dan budaya, resensi buku, feature, dan pojok literasi. Dari kesemua jenis tulisan itu diposting beda-beda, sebutlah esai diposting hari Kamis, puisi dan pojok literasi hari Sabtu, dan lainnya.

Sebenarnya, terkait ini pada mulanya cukup itu, tetapi begitu dipertengahan diskusi aku diberi amanah redaksi di feature. Maklum, orang-orang dan tulisanku lebih banyak di situ. Namun, yang terjadi adalah amanah itu kembali pada orang pertama. Ya, tidak papa. Lagi pula, tentang karya-karya yang sampai pada email pastinya membeludak. Apa lagi tulisan diberi honor 100 ribu. Wah, gila kan? Hmm, jarang-jarang media online yang memberi honor, dan honornya sebanyak itu.

Yang aku tahu, media tidak berhonor saja, banyak yang mengirim, apalagi ini. Siap-siap deh, kalau redaksi kewalahan, pasti yang lain turun tangan. Di situlah, aku dibutuhkan untuk mengurasi naskah-naskah yang masuk.

Ya, itu. Kalau begitu jam kerjaku berubah dan bertambah, Mas. Jam pagi 7-12, aku mengerjakan penelitian yang kini sudah mulai aku garap. Sejauh ini, sampai pada bab II. Doakan, segera selesai ya, dan menghasilkan penelitian berkualitas dan berbobot.

Kemudian, di jam siang pukul 1-5 sore, aku bekerja untuk kampus. Kegiatanku ya di atas itu tadi. Di selang-seling jam itu pagi, siang, dan malam aku punya kegiatan lain. Yang pasti, pagi aku masak dulu menyiapkan sarapan. Siang ya sebelum kerja kampus, aku masak lagi dan makan siang, sore atau malam tidak pastilah, terkadang free dalam arti tidak urusan dapur, kadang pula ada saja, entah bikin sambal pecel, peyek, goreng ketela, buat jamu godokan, buat camilan sejenis gorengan, dan lain sebagainya. 

Hmm, kalau dibayangin cukup berat, dan bakal kecapekan aku. Ya, aku jalani saja. Toh, kadang yang membuat berat dan capek itu adalah pikiran kita sendiri. Terlalu ribet, banyak diskusi, pertimbangan, lakukan saja dulu, jalani gitu.

Semoga dari sini, aku lebih serius belajar hidup. Tidak baperan yang tidak jelas, menunggu yang tidak pasti. Aku yakin dari apa yang aku lakukan dengan ikhlas akan ada imbalan yang tidak terduga. Yang aku tahu Tuhan sangat pemurah dan penyayang bagi umat manusia.

Hai, Mas Fendik, sudah dulu ya ceritaku. Azan, mari kita salat! nice to meet you!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...