Pada sebuah catatan yang tidak rapi, kau hidup sebagai aksara. Aku tidak tahu kegilaan itu terbuat dari apa. Yang jelas, aku benar-benar gila setelah kau putuskan untuk meninggalkan musim tahun ini.
Kesekian kalinya, catatan itu aku tata ulang. Dari satu lembar hingga ratusan lembar lainnya. Kuletakkan di atas meja bersebelahan dengan berkas-berkas kuliah yang tidak penting. Kembali, di antara kesibukan hujan meneror bumi, juga petir yang marah-marah, catatan itu berusaha aku rapikan.
“Sampai kapan selesai?” tanya Parki, teman kos yang bukan lagi teman, melainkan saudara. Tiga tahun sudah kami serumah. Mengontrak sebuah rumah kosong yang harganya paling murah di antara rumah-rumah lainnya.
Parki mengaduk-aduk kopinya. Ia duduk di sofa. Kakinya yang mengakang membuat kentara celananya yang sobek. Bukan suatu lelucon, memang tidak ada celana yang ia miliki tidak sobek. Entah pada sakunya, atau bagian samping atau pada tengah selangkangan.
“He, bodoh kupastikan tidak akan selesai pekerjaanmu, kalau tidak kau matikan kipas itu!”
“Kau yang menghidupkan, kenapa aku yang repot.”
“Sudah kuduga, kau benar-benar gila. Sudah tidak waras otakmu. Aku baru saja datang, kipas itu sudah nyala. Masih mau menuduh aku yang menghidupkan?”
Aku menelan ludah. Mengumpulkan tenaga sekadar berdiri dan mematikan kipas. Parki masih di sofa dengan duduk yang tidak lagi memperlihatkan celananya yang sobek.
“Tutuplah jendela! Angin membuat pekerjaanku tidak selesai.”
“Kau benar-benar Gila, Ndro!”
“Tidurlah barangkali sebentar. Tidak akan kubaca catatan-catatan receh yang hanya berisi ungkapan cinta pada Selvi itu.”
Pertemuan dengan orang terkasih, barangkali adalah obat bagi ia yang kehilangan kekasih. Setelah dipisah oleh dalamnya laut, aku bertemunya lebih panjang. Pertemuan-pertemuan kusimpan dalam aksara. Barangkali, aku terlalu sombong untuk percaya pada mulut lamis seorang perempuan.
Di pohon palem di samping ruang kuliah, mulanya kisah itu lahir. Dan di situ pula kisah itu mati. “Aku harap kau bisa mengerti.” Selvi mengakhiri pertemuan dengan seribu pertanyaan tentang sebuah hubungan.
“Memangnya ada apa?”
“Kau tak perlu memikirkan itu. Aku bersyukur waktu pernah mengikat pertemuan kita.”
“Maksudmu?”
“Aku harap kau bisa mengerti.”
Komentar
Posting Komentar