Terkabar dari aku yang sedang istirahat ini, tanpamu dalam pengertian lain, entah pada di titik mana sekarang ini.
Hadirnya, hadirmu membuka catatan suci, suatu sifat dan sikap masa kecil.
Kau tahu, Mas tiada lara yang lebih pedih daripada kehilangan. Hilang, berarti tiada. Bisa kembali, dan pergi selamanya, disebut kematian.
Indah doa, lurus jalinan asmara karena doa. Doamu, doa kita pada sujud harapan. Aku tahu, tiada salah seseorang berharap. Bukannya tanpa harapan mengisyaratkan kurangnya greget hidup?
Mas Fendik, kasihmu dalam.
Terima kasihku atas rasa datang-pergi tak duga. Yang ada, kepingan-kepingan bersamaan tetap abadi, kini dalam aksara. Akrab bersama potongan cita dan cinta mengajak ulang mengingat pada suatu harapan besar menjadi orang besar. Orang yang tunduk pada norma, aturan, dan adat istiadat, serta kepercayaan juga keyakinan diri.
Berjuang memilih cita dan cinta, tentu dukungan adalah segalanya. Dirimu yang terpercaya atas kedewasaan berpikir. Aku selalu berharap setiap kata dalam dirimu adalah rentetan kata bijak dan arif. Aku berdoa untuk itu dalam kata doa sujudku.
Halu.
Mas Fendik, terlepas dari semua tentang cita dan cinta aku berusaha menempati janji diri di atas diri. Berjuang meraih dan memiliki secara halal, dengan baik. Aku tahu, dan ingat pesanmu kesekian kali itu.
Karenanya, dalam kalbu kirimkan pesan-pesanmu dalam malamku. Untuk mengingat, sebagai peringatan.
Salamkuu selalu hangat. Tak berjarak.
Komentar
Posting Komentar