Langsung ke konten utama

Feature Sosok: Literasi Alarm Gaya Hernowo


Hernowo, lelaki yang hobi menulis catatan harian dalam folder komputer itu, Minggu (12/2/2017) malam, berbagi ilmu tentang literasi di rumah buku Sutedjo Spe
ctrum Center (SSC) Ponorogo.

Diskusi yang membuat kagum 15 pesertanya. Maklum, di usia 60 tahun, Hernowo telah menerbitkan 37 buku dan beberapa di antaranya best seller. Salah satunya Quantum Reading. Hernowo mengaku, ia mulai menulis sejak umur 40 tahun.

Menulis, ujarnya, sarana untuk meraih kebahagiaan. Kalau hati bahagia, suka, dan senang, ia yakin akan awet muda dan wajah bercahaya tidak keriput.

Terjun ke jagat tulis menulis, Hernowo mengaku lantaran terbiasa membuat catatan harian. Menulis mengalir sesuai yang dirasakan, dialami, dan diketahuinya.

Uniknya, lelaki kelahiran Magelang ini, ketika menulis selalu menyanding alarm yang digunakan untuk membatasi waktu menulis. Misalnya, menulis hanya untuk 10 menit per hari. Maka ia pun menulis hanya waktu itu saja. Ketika alarm berbunyi ia berhenti.

Hal demikian dilakukan karena menulis itu bukan beban. Hanya mengeluarkan pikiran dengan nyaman, santai, tanpa paksaan dan keraguan dalam hati.

“Menulis, tidak harus lama di depan komputer sampai dua jam. Menulis itu singkat saja, tapi mampu menghasilkan tulisan yang memikat makna, yaitu menyatupadukan pecahan-pecahan masalah,” terang bapak empat anak itu.

Aplikasi mengikat makna menjadi salah satu ciri khas Hernowo dalam berkarya. Konsepnya, menulis berisi dalam artian memiliki gizi yang siap dikonsumsi pembaca.

Gizi menulis didapatnya dari proses membaca. Semakin banyak ilmu yang masuk, semakin banyak pula ilmu yang keluar. Untuk itu, setiap hari ia selalu menyempatkan membaca buku, walau hanya enam hingga sepuluh lembar buku apa saja. Dengan catatan, berisi dan bergizi.

Bagi Hernowo, membaca itu masuk ke dalam hati. Kemudian, menulis itu mengeluarkan dari dalam hati paling dalam.

“Orang menulis berarti siap berjanji untuk bertanggung jawab membangun bangsa dan negara yang kuat. Oleh karena itu, menulislah dengan kejujuran,” pesan Hernowo di akhir diskusi.

*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 21 Februari 2017.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...