Langsung ke konten utama

Feature Sosok: Bersahabat dengan Lagu

Lirik dan nada, serupa sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Keduanya duduk di ruang bernama lagu, yang acap kali didengar manusia, ujar Aprillia Lufika Rahayu Ningsih, guru ngaji di Taman Pendidikan Al Quran As-Salam Pangkal, Sawoo, Ponorogo, Minggu (7/5/2017).

Lufika menambahkan, pesan dari lagu yang didengar laiknya kendaraan yang mengajak berwisata keliling dunia. Wisata yang dimaksudkan adalah wisata rohani yang menuntun perasaan, dalam bahagia atau sedih, juga imajinasi.

“Sejak kecil, ibu sering membelikan kaset lagu anak-anak. Semenjak itu saya mencintai lagu hingga saat ini," cerita gadis yang biasa disapa Fika.

Bermula dari sering mendengar, kemudian ikut bernyanyi, alumnus Universitas Muhammadiyah Ponorogo itu menciptakan lagu anak-anak berjudul Shalatlah!.

Lagu tersebut berisikan peringatan kepada manusia agar menunaikan salat lima waktu, serta pembahasan terkait adzan sampai selesai salat.

Berikut cuplikan lagu: Shalat, shalat lima waktunya / shlatlah, shalatlah pada awal waktu / shalat, jangan ditunda-tunda / kalau kelupaan bisa bahaya / nanti Allah bisa murka /

Ide lagu didapatnya karena sering mendengar lagu anak-anak yang dimiliki. Mulai dari lagu bermain, islami, hingga lagu daerah. Lagu Shalatlah ia garap kurang lebih seminggu. Hari pertama hingga ketiga, ia mulai mencoret-coret lirik lagu di kertas.

Hari kelima, mendapat masukan dari kawan terkait isi lagu. Nah, di hari keenam dan ketujuh lirik lagu tersebut mulai diberi warna melalui not lagu.

“Saya memanfaatkan aplikasi piano yang ada di handphone,” ungkap gadis yang pernah masuk peringkat delapan dari 50 peserta cipta lagu di sebuah stasiun televisi di Surabaya.

Bagi penyuka lagu Diobok-oboknya Joshua itu, mencipta lagu hanya butuh dua syarat, yaitu imajinasi dan fokus. Begitu imaji bermain -memasuki roh dari lirik-lirik lagu- fokus itu perlu. Sebab, jika tidak lagu tak akan hambar.

Fika menambahkan, bila lagu atau musik memiliki nyawa laiknya manusia. Ia dapat berkomunikasi melalui lirik yang bermakna di dalamnya.

“Tak sekadar penikmat lagu, tapi juga pencipta lagu. Oleh karenanya, bersahabat dengan lagu menjadi salah satu jalan menyatukan jiwa dan pikiran melalui alunan nada-nada yang berserakan di alam,” pungkas Fika.


*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 26 Mei 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...