Langsung ke konten utama

Putus Asa Tulisan Keempat, Kelima Bangkit Semangat


Suci Ayu Latifah, Peserta SLG STKIP PGRI Paling Rajin Menulis

Cita-citanya adalah menjadi seorang jurnalis. Sejak sekolah dulu, dia sudah rajin menulis di mading (majalah dinding). Kini, sudah ada sekitar 26 tulisannya yang dimuat media cetak lokal maupun nasional.

Menulis bukan bakat  Suci Ayu Latifah sejak kecil. Bahkan dia belum lama mengenal dunia tulis menulis. Kira-kira baru sekitar empat tahun lalu. Tepatnya saat masih duduk di kelas XI SMA. Kala itu dia sering mengisi majalah dinding (mading) di sekolahnya. Cerita pendek (cerpen) karyanya muncul sepekan sekali.

“Semangat saja, meski belum tahu banyak tentang tulis menulis,” kata gadis kelahiran Ponorogo, 21 Agustus 1996 ini.

Keasyikan menulis, kebiasaan itu pun terbawa hingga lulus sekolah. Keinginan mengembangkan kemampuan menulisnya pun mulai muncul dengan mengambil jurusan bahasa dan sastra di bangku kuliah.

“Guru mengenalkan saya dengan Pak Sutejo, yang kini jadi orang tua asuh saya,” ungkap putri pasangan Slamet Riyadi dan Katinem ini.

Bisa kuliah sesuai harapannya, dia pun tetap aktif menulis cerpen. Lalu, saat masuk semester III, dia ikut Sekolah Literasi Gratis (SLG). Dari situ dia bertemu dan mendapat pengetahuan langsung tentang dunia tulis menulis dan beberapa narasumber berkompeten.

“Dari situ saya belajar memahami banyak hal tentang tulis menulis. Mulai trik menulis, gaya bahasa, dan sebagainya,” papar mahasiswa semester VI Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Ponorogo ini.

Sejak bergabung di SLG dia juga sering mengirim tulisan ke media cetak. Hingga saat ini sekitar 26 tulisan yang dimuat di media cetak lokal hingga nasional. Ada yang berbentuk opini dan ada juga yang reportase. Prestasi tentang menulis di media massa maupun artikel pernah diraihnya.

“Juga pernah juara 1 lomba menulis artikel di Unmuh Ponorogo,” sebut sulung dari dua bersaudara ini.

Menulis di media massa memang tidak memberi keuntungan materi. Tapi, itu membuatnya lebih semangat menulis. Dulu, dia sempat putus asa karena empat kali kirim tulisan tidak dimuat. Semangatnya bangkit kembali, setelah kiriman kelima dimuat. Stelah itu dia mulai rajin menulis di media massa.

“Lebih sering reportase,” jelas mantan penyair radio ini.

Dari sekian peserta SLG, dia memang paling rajin menulis. Terutama di media massa. Selain itu, dia juga masih suka amenulis cerpen. Meski teste-nya lebih pada reportase. Sudah ada sepuluh cerpen yang dia tulis kini. Dia ingin terus mengasah kemampuannya menulis. Jika lulus nanti, dia ingin jadi jurnalis yang mumpuni.

“Karena menurut saya menulis itu sangat menyenangan dan asyik,” ungkapnya. ***(sat)

Pewarta: LATIFUL HABIBI, Kota, Jawa Pos Radar Ponorogo
*Feature tokoh terkait dipublikasi Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi 29 Mei 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...