Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Jangan Sebut Penulis

Tahun 2018, sebentar lagi habis. Tahun 2019, sudah di depan mata. Berbicara tentang harapan di tahun baru, bagi saya tidak akan cukup bila saya torehkan semuanya. Namun, dari berbagai harapan dan keinginan yang sebenarnya ingin terwujudkan, ada satu hal yang cukup penting sebagai bentuk pencerahan kepada generasi milenial. Seperti yang kita ketahui, generasi milenial adalah mereka yang lahir pada tahun 1980-1990-an hingga 2000-an awal. Bagi saya, ada hal yang tak mengenakan kecenderungan generasi milenial saat ini. Sebagaimana contoh, beberapa kali ketika saya bertemu atau berkenalan dengan mereka yang notabene berkecimpung dunia tulis-menulis. Mereka selalu menyebutkan dirinya penulis. Pernyataan itu, terkadang membuat saya risih. Bagaimana tidak? baru saja mampu menulis, dan kebetulan diterbitkan sudah menyebutkan dirinya penulis. Bagi saya, seorang penulis adalah mereka yang getol, istiqomah, dan amanah dalam dunia kata. Bukan mereka yang baru saja menyentuh, mengakrabi ...

Bagaimana Bahasa di Hati Bangsanya?

Momentum sumpah pemuda kembali hadir menyapa kita. Kali ini penting memaknai secara lebih serius. Tidak sekadar mengatasnamakan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Lebih dari itu, bagaimanakah andil kita sebagai generasi muda dalam merawat potensi besar Indonesia. Tentunya kita sudah mengetahui, ragam bahasa di Indonesia. Ada sekitar 742 bahasa di seluruh Indonesia. Mulai dari pojok Sabang hingga Merauke. Setiap daerah memiliki kekhasan bahasa sendiri. Mari ingat bersama, ungkapan Muhammad Yamin, “Bahasa menunjukkan bangsa. Tiada bahasa hilanglah bangsa.” Sejenak kita renungkan begitu vitalnya bahasa bagi suatu bangsa. Karenanya, mencintai bahasa menjadi kewajiban, yang mutlak dicintai. Mencintai Bahasa Mari bertanya pada diri, “Sudahkah kita mencintai bahasa Indonesia, bahasa persatuan itu? Mencintai bahasa dari segala aspeknya merupakan wujud bagaimana seseorang memiliki rasa memiliki dan takut akan kehilangan. Menurut buku yang saya baca, ada delapan tanda...

Bicara Politik Bukan di Tempat Kultum

Kampanye merupakan salah satu sarana pendidikan politik bagi masyarakat yang harus bebas dari fitnah dan ujaran kebencian. Berita utama koran Media Indonesia yang berjudul Kampanye Damai Butuh Komitmen mengungkapkan, deklarasi damai dinilai merupakan tanggung jawab dan menjadi pegangan peserta Pemilu 2019, bukan sekadar kegiatan seremonial. Memaknai ungkapan tersebut munculah kesadaran bila ajang pemilu bukan untuk kegiatan secara individual sebab siapa kandidat terpilih ialah mereka yang dipercaya untuk memegang kendali negara, membawa nama Indonesia, dan itu suatu tanggung jawab besar. Kendati demikian, butuh kerja sama, dukungan, dan komunikasi yang baik dari semua pihak. Damai dalam dunia politik diartikan sebagai tidak ada perang. Hal-hal yang berpotensi konflik semacam itu di antaranya ketidaka-manan, kesenjangan sosial, otoritas dan kekuasaan, kesenjangan ekonomi, rasisme, agama, dan radikalisme. Dalam bahasa Romawi Kuno, damai digunakan dalam istilah pax, sebagai ab...

Reportase: Harus Berani Tampil Beda

Tampil beda adalah cara menarik perhatian publik. Seperti yang dilakukan peserta lomba baris-berbaris SD Immersion Ponorogo, Senin (13/8) kemarin. Lomba tersebut diramaikan oleh seluruh jawatan dinas dan pemerintah kecamatan Babadan Ponorogo.  Semangat tim dari Wakasek kurikulum, humas, wali kelas, guru pendamping, dan pihak guru mengajar, juga operator sekolah tidak sia-sia dilakukan. Berlatih tiga hari, mereka mampu menyabet juara 1 dengan point tertinggi. Tahun ini berbeda. Seperti yang disuratkan panitia, lomba baris mengusung tema ke-Indonesiaan. Ide kreatif tim guru SD Immersion menonjolkan kostum beragam yang dikenakan. Yaitu kostum kesenian keling dari Pulung (topi bolu), sempyog obyog (rompi payet dada), dan asesoris tambahan, serta didukung make-up seperti tari Topeng Ireng. “Kostum ini terinspirasi kesenian tari Topeng Ireng dari Boyolali,” ungkap Charis Maahadi, salah satu tim SD Immersion.  Meski malu karena mengenakan kostum yang berbe...

DPR Harus Merevisi UU

Pendidikan adalah gerbang masa depan yang cerah. Sayangnya, mahalnya pendidikan tingkat SMA dan SMK membuat masyarakat perekonomian bawah merasa tercekik dan menutup gerbang mulia itu. Hidup di era globalisasi, persaingan semakin kuat. Orang-orang bersaing untuk menjadi lebih unggul dari yang lain lewat pendidikan di sekolah, yang akan berdampak pada kompetensi juga soft skill manusia.  Hal ini bermula, kesalahan DPR merancang kebijakan peralihan kewenangan ke provinsi yang memunculkan polemik pendidikan. Kelemahan DPR dalam membuat undang-undang tersebut bukan menyoal bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan, melainkan karena politik. Anggota DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang seharusnya memantau terlebih dulu kondisi pendidikan saat ini. Sebab pemasukan kas daerah di provinsi sangat minim, sejauh ini pemasukan hanya dari pajak, itu pun jumlahnya sedikit. Begitupula aparatur birokrasi di provinsi jarang turun tangan mengurusi kualitas pendidikan sekolah meneng...