Langsung ke konten utama

Reportase: Harus Berani Tampil Beda



Tampil beda adalah cara menarik perhatian publik. Seperti yang dilakukan peserta lomba baris-berbaris SD Immersion Ponorogo, Senin (13/8) kemarin. Lomba tersebut diramaikan oleh seluruh jawatan dinas dan pemerintah kecamatan Babadan Ponorogo. 

Semangat tim dari Wakasek kurikulum, humas, wali kelas, guru pendamping, dan pihak guru mengajar, juga operator sekolah tidak sia-sia dilakukan. Berlatih tiga hari, mereka mampu menyabet juara 1 dengan point tertinggi.

Tahun ini berbeda. Seperti yang disuratkan panitia, lomba baris mengusung tema ke-Indonesiaan. Ide kreatif tim guru SD Immersion menonjolkan kostum beragam yang dikenakan. Yaitu kostum kesenian keling dari Pulung (topi bolu), sempyog obyog (rompi payet dada), dan asesoris tambahan, serta didukung make-up seperti tari Topeng Ireng.

“Kostum ini terinspirasi kesenian tari Topeng Ireng dari Boyolali,” ungkap Charis Maahadi, salah satu tim SD Immersion. 

Meski malu karena mengenakan kostum yang berbeda dan aneh. Mereka percaya diri berlomba di kecamatan Babadan dengan membawa nama sekolah, SD Immersion. Cukup sederhana, alasan tampil beda itu mengingatkan masyarakat bahwa Indonesia kaya dengan adat dan budaya yang unik dan menarik. Totalitas kostum adat dijadikan pemantik agar masyarakat, khususnya siswa Ponorogo makin cinta dengan Indonesia.

Guru pamong kelas V itu mengungkapkan, filosofi tari Topeng Ireng merupakan gambaran perjalanan hidup manusia yang tertata dan dinamis. Zaman penjajahan, masyarakat dilarang berlatih silat (bela diri). Namun kemudian, warga menyiasati dengan memasukkan gerakan silat dalam bentuk tarian. Pada akhirnya, terciptalah tari Topeng Ireng.

“Kompak, disiplin, dan sungguh-sungguh penting dipahami dalam berbaris agar tercipta irama dan gerakan yang dinamis,” ulasnya.

Dukungan warga sekolah menjadi energi tim berbaris untuk tampil beda. Bahkan, mereka mendapat apresiasi dan doa luar biasa dari berbagai pihak medsos saat iseng mengunggah video latihan. 

Terlebih saat mengumandangkan yel-yel, “Kakang, Mbakyu, Pakdhe, Mbokdhe. Iki tim barise sing aneh dewe. Topeng Ireng seje karo liyane. Najan seje tetep pede. Kakang, Mbakyu, Pakdhe, Mbokdhe. Iki tim barise sing aneh dewe. Dandan celonehan kaya ngene. Gawe heboh se-UPTD.”

“Doa dan dukungan adalah kekuatan kami, tadinya malu semakin percaya diri,” ungkap Charis senang.

*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 22 Agustus 2018.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...