Langsung ke konten utama

Reportase: Dunia Berbeda di Atas Panggung


Bermain drama tidak cukup hafal naskah dialog. Namun, perlunya mimik dan ekspresi sebagai pendukung cerita yang dilakonkan.

Ruang 103, STKIP PGRI Ponorogo, Selasa (30/1/2018) tepat pukul 13.20 terdengar riuh para pemain drama. Mereka adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) STKIP Ponorogo.

Ada tiga kelompok yang masing-masing berjumlah 4-6 mahasiswa. Mereka berlatih keras memaksimalkan bermain peran berdasarkan naskah dialog karya kelompok.

Purwo Widodo, bermain sebagai seorang pemuda yang sedang meminang Iin, gadis yang dicintai. Diiringi instrumen lagu romantis bernuansa pernikahan, keduanya sah menjadi suami dan istri.
Dengan penuh penghayatan Iin mengekspresikan perasaan suka begitu calon suaminya memasangkan cincin perkawinan di jari manisnya. Namun, begitu undangan pulang tragedi menimpa istri. Kedua tangannya tiba-tiba gatal yang diduga dikarenakan cincin palsu. Karena itu, ibu dari pihak wanita marah besar.

“Perkawinan ini tidak sah. Harus dibatalkan!” geram Veni yang bermain sebagai pihak dari wanita.
Peran drama lain, Herminda membacakan sebuah puisi beraroma penindasan. Ia dengan lantang membacakan puisi itu.

Tak kalah memukau dari drama sebelumnya. Ada pelajaran besar yang perlu diketahui dari drama itu tentang kesenian dan kebudayaan Ponorogo wajib digalakkan. Kesenian daerah wajib dilestarikan, dijaga, dan digerakkan supaya tidak diklaim negara lain.

“Kesenian itu ya harus dijaga. Kalau tidak, akan diakui lagi negara lain,” kata Herminda saat berperan.

Dialog-dialog dalam naskah drama, bagi Suprapto dosen pengampu mata kuliah Apresiasi Drama, tidak sekadar diperankan tanpa ekspresi dan gesture yang tepat. Di sisi lain, intonasi rendah tingginya nada juga harus diperhatikan.

Suprapto memberikan saran, latihan olah vokal pemain drama itu penting. Itu agar penonton mendengar dialog dan dapat menyerap isi dan pesan dari drama yang ditampilkan.

“Suara harus jelas. Jika tidak penonton akan kesulitan menangkap isi cerita,” tuturnya.

Ia menambahkan, pemain drama dikatakan sukses adalah mereka yang mampu bermain peran di luar kebiasaan sehari-harinya. Misal tokoh bersikap lembut, mendapat peran kasar dan suka marah-marah. Hal itulah kerap menjadi tantangan mahasiswa.

Di akhir mata kuliah seekaligus penutupan Apresiasi Drama,Suprapto mengaku terpukau melihat pemain drama begitu khusyuk.

“Suara oke, ekspresi dapat, blocking tempat pun menguasai,” ungkapnya di hadapan 30 mahasiswa angkatan 2015 itu.

*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 10 Februari 2018.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...