Membaca halaman utama koran Kompas,
edisi Selasa, 22 Mei 2018 membuat saya terbelalak. Berita berjudul “151.509
Ruang Kelas Sekolah Rusak Parah” merupakan tamparan yang teramat sakit bagi
masyarakat yang berkecimpung di dunia pendidikan, termasuk saya. Meskipun masih
penikmat bangku kelas, sebagai mahasiswa hati terasa tercabik-cabik membaca
berita tersebut.
Penyakit dalam bidang pendidikan belum
bisa terselesaikan hingga detik ini. Tidak saja menyerang organ dalam
pendidikan, tetapi juga piranti pendidikan. Sebagai contoh sarana dan pra
sarana penunjang belajar siswa. Hari ini kembali noktah tersebut tergaris,
yaitu rusaknya ratusan ribu ruang kelas sekolah jenjang SD, SMP, hingga SMA. Permasalahan
utamanya disebabkan alokasi APBN selama tiga tahun terakhir mengalami
penurunan. Kemudian ditambah, pengelolaan pendidikan pemerintah daerah belum
berjalan baik, yakni sumber daya manusia belum memadai.
Dua permasalahan mendasar itu, menurut
saya harus diberikan benang merahnya. Sebab, jika berlanjut tidak menutup
kemungkinan dampak dari ketidakseimbangan itu pelajarlah yang menjadi
korbannya. Seperti yang diberitakan, selama tahun 2014-2016 tercatat 105
pelajar korban luka akibat sekolah roboh. Tentu saja, hal ini menyebabkan resah
siswa saat belajar. Selain itu, juga berdampak anak Indonesia tidak mau
bersekolah karena sekolah tidak memenuhi hak siswa. Salah satunya rasa nyaman
saat belajar.
Akhirnya, anak lebih memilih belajar dengan
caranya sendiri tanpa harus menunggu diajari. Seperti yang pernah dikutip James
Marcus Bach dalam bukunya Tinggalkan
Sekolah Sebelum Terlambat, bahwa sekolah hanya sementara. Pendidikan tidak.
Jika kalian ingin berhasil dalam hidup; temukan sesuatu yang membuat kalian
takjub dan pelajarilah. Jangan menunggu sampai seseorang mengajari kalian;
semangat kalian yang berkobar-kobar akan menarik guru-guru untuk datang pada
kalian. Jangan mencemaskan tentang diploma atau gelar; berusahalah agar menjadi
sangat baik sehingga tidak ada yang bisa menolak kalian.
Demikianlah, hakikat belajar yang tidak
saja didapat dari yang namanya sekolah. Jadi, karena pendidikan itu penting
bagi generasi Indonesia maka perlahan kewewenangan pengelolaan pendidikan
dilakukan sebaik mungkin. Maka tidak akan lagi berita semacam itu tercatat
dunia. Memang sulit, namun saya yakin perlahan pasti akan berbuah baik. Semoga!
*Tulisan di atas pernah termuat di Kompas, edisi 4 Juni 2018.
Komentar
Posting Komentar