Langsung ke konten utama

Feature Sosok: Ayo Main Dakon atau Gobak Sodor



Di era digital, ketika anak-anak dimanjakan dengan gawai sebagai mainan mereka, Sopyan Arina (26) tertarik menghidupkan permainan tradisional di kota kelahirannya.

Fajar menembus Desa Ketonggo Bungkal Ponorogo, sekitar 20 anak usia sekolah dasar hingga menengah pertama menikmati cerianya setiap hari Minggu di halaman TK Darma Wanita Kenonggo.

Lahir 2019, Paguyupan Permainan Jaman Dulu mampu mengembalikan dunia anak-anak pada dunia bermain. Setiap hari Minggu, pukul 08.00-11.00 WIB, paguyupan tersebut mengajak anak-anak sekitar desa untuk bermain. 

“Dunia anak adalah bermain. Yaitu bermain secara nyata,” ungkap pendiri Paguyupan Permainan Jaman Dulu, Arina.

Pihaknya mengungkapkan, permainan yang tersedia di gawai memang menarik, seru, dan penuh tantangan. Tetapi, permainan itu semu. Berbeda dengan bermain lapangan saat dirinya kecil, itu nyata. Kerja sama tim bisa dilihat secara langsung. Sehingga, akan menumbuhkan kekompakan, kebersamaan, kerjasama, dan sportivitas.

Saat ditemui, Minggu (24/3/2019) tim paguyupan bersama anak-anak Desa Ketonggo dan sekitarnya sedang asyik bermain. Ada yang bermain jamuran, gobak sodor, engklek, peta umpet, dakon atau lumbungan, dam-daman, dampar, lompat tali, sepuran, dan masih banyak lagi.

Semua peralatan bermain sudah disiapkan. Mereka hanya datang bawa badan. Namun, ada beberapa permainan dari mereka seperti lompat tali.

“Mereka iuran membeli karet, lalu dengan kreatif mereka gabungkan jadi panjang,” kata Listya, salah satu penggerak paguyupan tersebut.

Tak memandang usia dan jenis kelamis,  ragam permainan diratakan supaya yang belum tahu menjadi tahu dan bisa cara bermainnya. 

Halnya dialami oleh Andita Viki Armada (9), kelas 3 SD Ketonggo. Ia mengaku awalnya belum bisa beberapa permainan, seperti lompat tali dan gobak sodor. Berkat melihat lalu bergabung bermain, ia sekarang bisa dan malah membuat candu karena seru.

Sementara itu, Rike Diah (10), siswa kelas 4 Ketonggo pun berujar, “Bermain dakon tidak sekadar ambil, harus dikira-kira supaya bisa menembak rumah lawan.”

Berhasil meregenerasi permainan tradisional tersebut, tim paguyupan berinisiatif memerluas jaringan. Tidak sekadar anak-anak yang tinggal di Desa Ketonggo, tetapi anak dari desa lain boleh bergabung. Justru, dari sini kita akan belajar mengenali dan memahami karakter masing-masing anak.

“Meski sebagian orang beranggapan jadul, kami tidak malu. Karena inilah budaya,” ungkap Arina tegas.

*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 29 Maret 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...