Langsung ke konten utama

Resensi Buku: Keluarga Harus Rela Berkorban dan Saling Peduli





Judul : Senarai Aforisme Seorang Ayah
Penulis : Dr H Sutejo, M Hum
Penerbit : Terakata
Cetakan : Pertama, Juni 2019
Tebal : xxxvi + 168 halaman
ISBN : 978-602-5457-19-7

Kebanyakan orang akan meng­alami siklus kehidupan yang disebut menikah. Banyak juga yang tidak menikah, seperti kaum selibater (hidup tidak menikah) se­perti biarawan-biarawati, rohaniwan-rohaniwati, atau para biksu. Ada juga Rabi’ah al-‘Adawiyah, perempuan sufi kelahiran Irak berparas cantik dan bersuara merdu. Ia tak menikah. Jiwa dan raga hanya untuk Allah.

Buku Senarai Aforisme Seorang Ayah: Ragam Pesan Kehidupan Ayah kepada Anak dan Menantunya me­rupakan buah refleksi pengalaman pernikahan penulis dan mendam­pingi orang yang akan maupun sudah menikah. Buku memaparkan ragam pesan kehidupan pra, saat, dan pas­capernikahan. Disusun menjadi 7 bab. Di antaranya, bab 1 tentang literasi pernikahan. Bab 2 tentang filsafat pernikahan dan bab 4 tentang misteri cinta. Rangkaian bab-bab diwarnai ragam pesan kehidupan bagi orang yang akan dan sudah menikah.

Pernikahan bukanlah jalan lurus bertabur bunga. Ada juga jalan berkel­ok, berliku, mendaki, menurun, dan naik. Kiri kanannya bisa ada jurang dan tebing (hal 118). Ragam goda per­nikahan teramat mendebarkan. Butuh kearifan dalam menjalani liku-liku pernikahan. Maka, seperangkat literasi pernikahan, filsafat pernikahan, dan misteri cinta penting dikenali, dipa­hami dan dimengerti.

Buku mengajak berpikir dan bere­nung, apakah pasangan kita benar-be­nar mencintai dan mengasihi dari hati yang tulus. Buku melihat tanda utama cinta adalah perhatian, kepedulian, kerelaan, dan pengorbanan (hal 60). Tanpa perhatian, kepedulian, dan pengorbanan tak dapat disebut cinta. Tanda cinta itu misteri yang harus dipecahkan guna menyelesaikan kegalauan hati.

Komunikasi adalah syarat utama yang wajib digerakkan. Ia akan men­jelma gelombang-gelombang yang sa­ling mengoneksikan antara rasa, jiwa, dan pikiran. Apabila gelombang itu sama akan tarik-menarik. Sebaliknya, gelombang yang berbeda akan tolak-menolak. Setiap keluarga harus mem­bangun komunikasi yang harmonis. Semua harus saling terbuka, jauhkan egoisme, dan jangan mau menang sendiri.

Kehidupan dunia tidak akan sepi dari gelombang dan badai yang akan dihadapi oleh kedua mempelai. Salah satu gelombang dan badai adalah masa lalu. Musuh pertama pernikah­an adalah cinta masa lalu. Bersyuku­rlah yang tidak memiliki, tetapi was­padalah yang kebetulan mengalami. Hal ini terutama bila ‘cinta’ masa lalu berpotensi mengganggu keberlang­sungan hidup berumah tangga.

Dia sering hadir dalam seribu kemungkinan ajaib dan menjadi tan­tangan yang berat (hal 83). Masa lalu serupa serigala yang bisa mencabik-cabik. Butuh sebuah ketegasan dalam diri untuk
melawannya. Yang sudah ya sudah. Kini sudah menjadi pasangan dengan yang sekarang. Biarkan pacar masa lalu lewat. Jangan dihadirkan kembali.

Pembaca terutama calon pengan­tin atau yang sudah berkeluarga perlu membaca. Buku harus dipahami, dimengerti, dan dipraktikkan bersama guna membangun sebuah keluarga bahagia. Semoga buku ini mennjadi pencerah bagi pembaca baik yang su­dah maupun akan menikah.
Diresensi Suci Ayu Latifah, Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo

*Tulisan di atas pernah termuat di Koran Jakarta, edisi 15 Juli 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...