Sesungguhnya, tidak ada sesuatu tanpa hukum kausalitas untuk dituliskan dalam karya sastra, salah satunya novel. Novelis, Arafat Nur misalnya. Penulis asal Aceh ini banyak menelurkan karya novel dan kumpulan cerpen. Sejarah Aceh dan konflik kemanusiaan menjadi ide cerita tema perlawanan dan perjuangan Aceh pada saat konflik dan pascakonflik. Ketidakadilan pada masa itu berakhir pada pertumpahan darah yang dipimpin oleh Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976.
Katarsis atau pembersihan dari ingatan
konflik Aceh dilakukan Arafat Nur sebagai bentuk kritik sosial. Selain penulis
peraih KLA 2011 ini juga muncul penulis seperti Thayeb Loh Angen melalui novel Teuntra
Atom, Kabut Perang karya Ayi Jufridar, dan lainnya. Penulis-penulis
ini dalam bahasa sastrawan George Bernard Shaw mereflesikan kias cerit dari
kehidupan pengarang sendiri. Hal itu, sudah sejak lama pun dilakukan penulis
lama, seperti Marah Rusli melalui Siti Nurbaya, Sutan Takdir Alisjahbana
dalam Layar Terkembang, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, hingga
penulis 2000-an.
Membaca karya pemenang sayembara DKJ
2010, memberikan gambaran bagaimana masa kelam Aceh. Aroma kekuasaan, kekerasan,
pemberontakan, pendidikan, percintaan, seksualitas, dan lainnya membangun
citarasa kehidupan sosial-budaya Aceh. Di antaranya terdapat pada Percikan Darah di Bunga (2005), Lampuki (2011),
Burung Terbang di Kelam Malam (2014), Tempat Paling Sunyi (2015),
Tanah Surga Merah (2017), Seumpama Matahari (2017), Lolong Anjing
di Bulan (2018), dan Bayang Suram Pelangi (2018).
Lolong Anjing di Bulan,
misalnya bercerita tentang kehidupan sosial masyarakat Aceh pada 1976-2005. Setebal
346 halaman, melalui tokoh Nazir menceritakan kehidupan Aceh di kampung Alue Rambe
dan sekitarnya. Sejak kecil dia menjadi saksi aksi kekerasan yang dilakukan tentara
pemerintah dari Jakarta.
Rakyat berjenis kelamin laki-laki banyak
disakiti, dan akhirnya dibunuh secara tak manusiawi. Gadis-gadis diperkosa
tentara hingga hamil. Tragedi kemanusiaan teramat perih dan pedih membuat tokoh Nazir menaruh rasa balas dendam
kematian (tentara telah membunuh dan menembak Ayah, Kakek, Paman Arkam, Paman
Muha, dan orang-orang Aceh).
Tak luput dari aksi kekerasan, kekuasaan
politik juga bermain-main. Tentara bertindak sewenang-wenang kepada rakyat—asal
tembak, asal bunuh, dan asal rampas hasil bumi. Dampaknya, rakyat miskin di
negerinya yang subur. Hidupnya dibayangi ketakutan.
Lampuki (2011), juga menggambarkan
kondisi rakyat Aceh yang mengalami kekerasan dan ancaman. Novel satire tersebut
membungkus tawa di balik kesedihan. Bercerita Ahmadi, seorang gerilya yang
mengajak penduduk Aceh melawan tentara. Saat pemberontakan, Ahmadi berhasil
lolos dari orang-orang berseragam, pada saat itu penduduk menjadi sasaran.
Arafat, sebelumnya menelurkan karya
beraroma hampir sama pada Percikan Darah di Bunga (2005). Novel ditulis
selama 44 hari itu bercerita seorang tokoh bernama Dhira Ayu Laksmita memiliki kebencian
terhadap tentara yang dengan bejat memerkosa Meula, menghajar ibu Meula, dan
menembak ayah Meula. Tanah Surga Merah (2018), tentang tokoh Murad,
mantan pejuang GAM. Ia keluar dari
partai merah karena perbedaan prinsip. Sebab itu, Murad berseteru dengan partai
merah yang mereka bentuk bersama pasukannya.
Beberapa ulasan novel Arafat Nur kental
dengan aroma sadisme. Sebuah tindakan takmanusiawi yang diterima rakyat Aceh. Tragedi
kemanusiaan dalam novel diceritakan secara baik dan detail, namun
pendeskripsiannya terkesan tidak berlebihan. Katakalah dalam Lolong Anjing
di Bulan, penduduk kampung dipotong daun telinganya di hadapan warga di
halaman masjid; tokoh Arkam ditembak hingga dadanya sobek, tokoh Ayah disiksa
di depan keluarganya dan jasadnya dibuang ke sungai; tokoh Kakek disiksa di hadapan
istrinya hingga tak sadar, akhirnya meninggal; tokoh Yasin dibunuh secara sadis
dengan cara diikat di belakang truk lalu diseret, hingga tengkorak kepalanya
terlihat; tokoh Muha dadanya dibelah, lalu jantungnya diambil; dan lainnya. Sungguh,
tragedi kemanusiaan yang tak manusiwi.
Tutur Arafat, potret Aceh digambarkan 60
persen secara riil, sedangkan sisanya melewati proses pengimajinasian seakan
nyata. Menurut teori kesusasteraan disebutlah teori mimetis. Sebuah tiruan alam
atau potret kehidupan.
Tak bisa dimungkiri membaca sastra
seakan berjalan mencari sesuatu. Ada pelajaran hebat, khususnya pada
novel-novel Arafat perihal nilai-nilai kemanusiaan (tolong menolong, kerja
sama, interaksi sosial, menghormati dan menghargai sesama, peduli sosial, dan
lainnya). Arafat Nur mengungkap sastra sebagai sejarah yang tidak akan terlupa.
Dan, sastra bagi Mercuse (1969) dijadikan sebagai gerakan sosial mengingat dan
menyimpan kritik dan perlawanan. Karenanya, sastra adalah ruang keabadian.
*Tulisan di atas pernah termuat Radar Madiun, edisi Minggu, 02 Februari 2020.
Komentar
Posting Komentar