Kalau saja ada kunci yang mampu membuka ribuan pintu, mengapa harus dilewatkan begitu saja?
Sebab rasa keingintahuan terhadap
bacaan,
akibatnya harus menulis. Kalau tidak, lintasan di otak bisa seruwet benang.
Menulis. Saya mengenal betul lema itu sejak kecil—ketika Ayah mengajarkan membaca dan
menulis di bawah pohon
jati suatu sore. Namun, saya tidak begitu mengakrabi. Saya
menulis, tapi bukan dalam rangka merangkai kata-kata. Namun, lebih pada
menyalin tulisan orang lain. Dari dua kegiatan itu, saya lebih suka membaca. Ya
apa saja, hingga pada tulisan kecil di bungkus jajan.
Enam tahun silam, saya berusaha PDKT dengan dunia
menulis. Semua berawal dari membaca cerita remaja di media sosial. Menulis
menjadi dunia yang mengasyikkan dan bisa saya dilakukan. Menulis adalah
bercerita. Menulis,
ruang untuk berekspresi. Karenanya, saya mulai menulis tentang pengalaman diri—dalam lembaran kertas
yang teramat ekspresif.
Seandainya saja merupakan
kata-kata yang menyedihkan. Seakan mengisyaratkan penyesalan terhadap masa
lalu. Itu benar adanya. Saya menyesal, mengenal dunia menulis tergolong terlambat.
Kalau saja, bertemu Bapak Sutejo lebih cepat, mungkin akan lebih produktif.
Dua
tahun saya mencari
guru menulis. Hingga menghubungi Sujiwo Tejo melalui akun emailnya. Hasilnya
nol, dan saya belajar menulis sendiri. Begitu bisa menulis ekspresif saya
merasa bisa menulis. Namun, perlahan saya baru ngeh, menulis tidak sekadar merangkai kata. Menulis hakikatnya berdoa—seolah berpesan dan berpengharapan tentang hidup.
Berbicara perihal menulis,
dibutuhkan kesabaran dalam berproses. Mulai dari referensi bacaan, gaya menulis, menulis, pengeditan,
hingga pengiriman karya. Menulis, sebenarnya berkutat pada hukum kausalitas. Selalu
berangkat dari kegelisahan dan keresahan.
Pendakian menuju
puncak karya, tidak bisa berangkat dari kekosongan
pikiran. Butuh gagasan, butuh argumen sebagai pondasi. Karenanya, sebelum
menulis haruslah banyak membaca. Keringnya bacaan berpengaruh pada hasil
tulisan yang dicipta, berikut gagasan yang diungkapkan, dan dampaknya pada
solusi yang disuguhkan. Membaca, membaca, dan membaca adalah syarat menulis.
Begitulah tutur
Kuntowijoyo, cerpenis Indonesia.
Pengalaman menulis pertama kali,
begitu melelahkan tapi mengena. Satu artikel dibahas kurang lebih 6 jam. Saya
ingat betul, ketika tulisan artikel saya dibahas oleh Bapak dan sahabat, Sri Wahyuni di garasi.
Kala itu,
saya menulis tentang buku, yaitu bagaimana seseorang dapat mengenali dan
menyayangi buku. Tulisan itu termuat di Radar Ponorogo, edisi 7 September 2016.
Kemudian, tulisan kedua berjudul Jadi
Penulis? Ya Rajin Membaca, termuat di Radar Ponorogo edisi 24 September
2016.
Adapun teknik menulis, saya
menerapkan teknik N3, yaitu niteni,
nerokne, nambahi. Caranya dengan melakukan pengamatan tulisan yang termuat
di media secara saksama, mencari model tulisan yang enak, kemudian menirukan
gaya tulisan tersebut, dan terakhir menambahkan sesuatu yang diperlukan dalam
tulisan kita. Lalu, teknik lain yaitu dengan menggunakan aforisme, cerita,
berita, dan lainnya.
Saya rasa, teknik ini mudah dan dapat dilakukan siapapun.
Syaratnya hanya satu: jangan berangkat dari kekeringan gagasan dan kedangkalan
solusi. Buatlah
gagasan-gagasan baru yang hidup, dan solusi-solusi yang tepat untuk menarik
pembaca.
Jangan lupa, semisal tulisan untuk konsumsi media, penting sebelum
mengirim kenali karakter tulisan di media tersebut. Jangan sampai salah sasaran
karena ditolak media lebih menyakitkan daripada ditolak cinta.
Dari pengalaman menulis, pesan
utama yang dapat saya tuturkan adalah kecintaan terhadap buku—membersamai buku. Kalau sudah
cinta, seseorang akan merasa rindu jika berjauhan dengan yang namanya buku. Dan
kini menjadi penyakit saya.
Saya sering rindu terhadap bacaan baru. Guna
mengobati kerinduan tersebut, saya suka membaca buku baru, lalu diresensi. Pun,
buku lama. Tidak saja buku, koran pun saya lahap saban hari. Saat itu, Kebetulan
Bapak berlangganan 6 koran. Ya, kami ada kebiasaan rebutan koran setiap harinya guna mencari
tahu informasi apa yang bisa digali hari itu.
Dalam kegiatan membaca, saya tidak sekadar
membaca saja. Untuk mengikat dan mengingat bacaan, saya menyiapkan secarik kertas
untuk menuliskan sesuatu baru. Ya, untuk menambah pengetahuan dan bahan untuk
menulis. Bahkan, qoute-qoute pun saya tulis. Biasanya saya manfaatkan sebagai
pembuka tulisan. Ini dia yang dinamakan teknik aforisme.
Selain bacaan, menulis butuh
komunitas. Sebuah ruang yang semua elemennya memiliki tujuan sama. Komunitas
berperan besar dalam proses belajar menulis. Katakanlah, dalam suatu forum
membahas tentang buku tertentu. Seakan buku yang belum pernah kita
baca, seolah-olah sudah membaca dan kita tahu isi buku. Nah tugas kita adalah
mencatat poin-poin yang diutarakan reviewer.
Sebab itulah, saya beruntung
memiliki komunitas menulis yang memiliki fokus pada dunia kepenulisan. Dari
komunitas membuat saya semakin semangat menulis. Karenanya, bersamalah
orang-orang yang memiliki kegilaan sama. Yakin itu akan menular secara
perlahan,
seumpama virus.
Menulis, sekali lagi menulis. Pokoknya harus mau membaca. Kalau tidak ya apa yang hendak ditulis. Jujur saya mendapat banyak hal dari kecintaan ini, meskipun tidak pernah terbesit menggeluti dunia menulis. Selain relasi dari komunitas, saya mendapat penghargaan dari menulis.
Di tahun 2016 bulan Oktober mengikuti lomba menulis artikel di Koran Harian Surya. Bersaing dengan ratusan naskah, akhirnya masuk 6 terbaik. Penghargaan yang saya dapat berupa piagam, uang, dan pemuatan di koran.
Rasanya, senang sekali. Saya berterima kasih kepada Bapak Sutejo, Sri Wahyuni yang sudah membantu merevisi tulisan tersebut, dan teman-teman sosial media yang telah menekan tombol like. Prestasi lain, Juara 1 menulis artikel di Unmuh Ponorogo, dan lain sebagainya.
Menulis, saya mendapat ruang
untuk menyampaikan unek-unek. Terkait honor, tidak terlalu dipikirkan. Misal ya kalau ada masuk
rekening, alhamdulillah. Karena tujuan utama menulis adalah untuk berekspresi. Sejauh
ini, saya sudah menulis lebih dari10 media cetak maupun online. Di
antaranya, menulis artikel, opini, reportase, cerita anak, cerita pendek, resensi
buku, argumentasi, dan lainnya.
Dari beberapa jenis tulisan itu lebih dominan
pada reportase dan opini. Cerita anak, baru belajar tahun 2017. Setelah gagal
empat kali, akhirnya tulisan kelima termuat di koran Kompas. Luar biasa senang
dan terkejutnya. Hingga di suatu pagi 5 November 2017 menggemparkan keluarga
literasi. Hehehe.
Berkat menulis, nilai plusnya
adalah honor. Pertama, honor koran dan kedua penghargaan dari kampus. Ya,
kampus memberi penghargaan bagi setiap mahasiswa yang tulisannya dimuat. Tulisan
muat media bagi saya adalah menoreh sejarah. Sebagai bentuk sejarah, tentu
harus diabadikan dengan cara di dokumentasikan ke dalam bentuk klipping. Itu
adalah saran dari Bapak.
Dari saya, manjakan diri dengan
buku. Janganlah mau
menjadi manusia kerdil yang alergi terhadap
bacaan. Mantapkan niat, senantiasa terus berlatih menulis. Kebiasaan menulis,
kata Steinbeck akan menjadi kekuatan yang jauh lebih kuat daripada kemauan dan
inspirasi.
Percayalah, suatu hari nanti akan datang berkah dari setiap proses. Tentu,
hakikat proses tidak pernah mengkhianati hasil. Percayalah! Untuk hari ini, tuliskan jejak hidupmu ke dalam
tulisan. Senantiasa ia akan abadi meski kita berada di ruang keabadian.
Suci Ayu Latifah
10-02-2020
Komentar
Posting Komentar