Langsung ke konten utama

Sinopsis Novel Bayang Suram Pelangi Karya Arafat Nur


 Bayang Suram Pelangi merupakan satu dari beberapa novel Arafat Nur yang bercerita tentang tragedi kemanusiaan di Aceh pada tahun 1976-2005. Melalui novel ini, Arafat bercerita suatu konflik sosial GAM dengan tentara Indonesia. Bayang Suram Pelangi mengambil secuil dari sejarah Aceh pada tahun 2003 di kampung Meurawoe dan sekitarnya. Novel dimulai pada pekan ketiga bulan Januari 2003, tentara Indonesia mendirikan pos di sekitar Pasar Pariabek. Tak lama dari kedatanganya, mereka berbaris untuk mempersiapkan diri keliling kampung.

Saidul merupakan tokoh episentrum dalam Bayang Suram Pelangi. Ia berkesempatan menjadi tokoh penggerak cerita. Ia dengan leluasa bercerita tentang suatu kondisi sosial yang teramati, terasakan, dan teralami olehnya. Terlebih, setelah salah satu keluarganya merupakan bagian dari kelompok pemberontak Aceh (Sani). Saidul pula, termasuk tokoh kritis. Dorongan mengkritisi sesuatu sering kali menyapa. Ia tidak habis pikir mengapa realitas sosial tidak sama dengan apa yang ia pelajari. Semua hal ia komentari termasuk penciptaan alat penjerat burung, gelang karet, dan anyaman bambu.

Kecerdasan itulah, yang membuatnya dekat dengan tentara. Kedekatan itu tercipta suatu hari ia dihentikan salah satu tentara bernama Tumiren. Semenjak pertemuan dan obrolan di pos tentara itu, tidak jarang Saidul dipanggil ke pos tentara. Ia sering diberi beberapa makanan dan bercerita tentang hari-harinya di sekolah, serta teman-temannya.Tumiren merupakan sosok lain daripada tabiat tentara yang melekat pada benak masyarakat Aceh. Sekalipun tentara terkenal suka membunuh, merampas, merambok, menyiksa, dan memerkosa masyarakat, sebagian dari mereka berhati baik—peduli dengan anak-anak sekolah. Tidak jarang, Tumiren mengajukan pertanyaan dan meminta Saidul bercerita tentang tokoh-tokoh besar di dunia. Ia juga memuji kecerdasan Saidul dalam mengingat materi-materi yang diajarkan di sekolah.

Novel setebal 384 halaman ini berfokus cerita pada seputaran kisah cinta monyet Saidul dan Zahra, perang politik, dan keluarga Saidul, serta kondisi masyarakat Aceh. Pembacaan novel hingga tuntas menjadikan suatu pemaknaan maksud daripada judul novel. Penggunaan makna kata ‘bayang suram pelangi’ bermaksud harapan cinta yang putus karena gadis yang dicintai menikah dengan orang lain. Bayang suram itu mewakili gambaran harapan dan impian seorang tokoh yang ia imajikan tentang masa depannya hidup bersama orang yang dicintainya.

Penceritaan kisah cinta pada Bayang Suram Pelangi, serupa dengan novel Percikan Darah di Bunga. Pengarang melalui gaya penceritaan detail, kronologis, dan sistematis memberikan warna novel tidak tegang seperti novel-novel sebelumnya. Kisah cinta menjadi relaksasi sembari menikmati sejarah Aceh yang tidak luput dari peperangan. Saidul dalam Bayang Suram Pelangi berstatus anak sekolah tingkat SMA kelas 2. Pengarang menceritakan tokoh jatuh cinta pada gadis bernama Zahra.

“Bagaimanapun juga, Zahra telah menawanku, telah membuat pikiranku sibuk sepanjang waktu, aku betul-betul dibuatnya mabuk kepayang. Tanpa dirinya, rasanya hari-hari dan malam-malamku menjadi sangat gersang, seakan yang ada di dunia ini Cuma perang dan ketakutan..” (hal. 340). Kecantikan Zahra telah mengelabuhi bayangan Saidul. Tiada tanpa hari otaknya dipenuhi bayangan Zahra. Sebelum tidur, ia membayangkan wajah putri dari kayangan, dan kemudian tertidur pulas sampai pagi.

Anak remaja beranjak dewasa ini, telah jatuh cinta pada gadis keturunan Portugis. Cintanya diwujudkan dengan beberapa cara untuk menarik perhatian Zahra. Termasuk dengan merelakan memberikan burung tangkapannya. Padahal mestinya burung-burung itu dibawa pulang untuk dimasak. Daripada kebodohan atas nama cinta itu membuat Saidul mendapat hukuman dari Ibunya. Ibunya sangat marah mengetahui burung tangkapannya diberikan kepada orang lain. Keadaan ekonomi yang serba kekurangan, membuat burung-burung itu sangatlah berharga untuk menambah menu makanan. Sebab, ketika kondisi benar-benar darurat, mereka cukup makan dengan ketela dan ubi.

Selain, kebodohan atas nama cinta, berbagai cara dilakukan Saidul untuk menarik perhatian Zahra. Dalam suatu kesempatan saat melakukan kegiatan bersama, sering sekali menjadi kesempatan Saidul berduaan atau sekadar mengobrol dengan gadis itu. Seperti halnya, pada saat persiapan acara tunangan dan pernikahan Mala. Saidul dan Zahra sering mengerjakan tugas bersama. Saat itulah, ia berkesempatan melihat kecantikan Zahra lebih dekat. Ia sangat berharap kelak dapat hidup bersama dengan gadis itu. Namun, imaji masa depan yang pernah digambar Saidul hanya berakhir pada bayangan suram. Selepas menghilangnya Zahra di kampung Meurawoe, ia bertemu sekali untuk terakhir kalinya. Karena Saidul melihat seorang lelaki di rumah Zahra. Setelah bertanya langsung, Zahra menjawab lelaki itu (Marjono, tentara yang bertugas di Lamlhok) adalah calon suaminya.

Mengetahui itu, hati Saidul runtuh. Ia benar-benar tidak percaya bahwa gadis yang ia cintai tidak lebih seperti gadis-gadis kampung lainnya. Mereka mau menjalin hubungan dengan pemberontak maupun pasukan tentara. Seperti yang terjadi pada Sarah, berhubungan dengan tentara Jumino, hingga pada perbuatan Zina. Ia hamil anak Jumino. Nahasnya, Jumino tewas saat melakukan penyerangan. Jenazahnya sudah dipulangkan ke tanah air. Sarah akhirnya hanya bisa meratapi nasibnya dan kehamilannya.

Begitu pula dengan gadis-gadis kampung lain. Mereka mau melayani tentara dengan senang hati. Justru mereka, setiap hari secara bergantian masuk ke posko tentara. Tampaknya, otak mereka telah dicuci oleh manusia berhidung pesek dan berseragam loreng itu. Kenyataan semacam itu, terjadi pula pada kedua saudara Saidul. Mala menikah dengan Sani, yang termasuk kelompok pemberontak Aceh, dan adiknya Aini bertunangan dengan Muliadi, salah satu prajurit pasukan tentara.

Kebodohan gadis-gadis kampung dalam Bayang Suram Pelangi, tidak seratus persen kesalahannya. Akan tetapi, memang para tentara utamanya sering sekai menggoda, memberikan iming-iming kepada mereka, sehingga mereka tanpa sadar terikat oleh pasukan tentara. Hal itu bisa jadi dikarenakan kurangnya membaca tindakan tentara kepada masyarakat. Secara kisha cinta Sarah dan Jumoni. Sarah rela bapaknya dipukuli tentara hanya gara-gara tidak diizinkan jalan-jalan bersama Jumino. Gadis itu benar-benar gila menyakiti bapaknya sendiri demi nafsu bertemu kekasihnya. Padahal mestinya Sarah memahami, berurusan dengan tentara adalah kebodohan terbesar. Tentara adalah musuh masyarakat Aceh dan GAM.

Terlepas dari kebodohan gadis-gadis kampung, Saidul merupakan anak yang beruntung dibandingkan dua saudara perempuannya, Mala dan Aini. Kedua gadis itu tidak menikmati masa sekolah hingga tingkat SMA, seperti Saidul. Keduanya, tamatan SD, setelah itu berkegiatan di rumah dan berkerja di rumah warga yang menyediakan lapangan pekerjaan emping melinjo. Setiap hari, apabila tidak ada acara di rumah, dan urusan rumah telah selesai keduanya bekerja bersama gadis-gadis kampung. Di kampung Meurawoe tidak banyak anak-anak yang sekolah. Hanya mereka dari keluarga kaya raya yang dapat sekolah. Anak laki-laki, merantau ke luar negeri untuk mendapatkan uang dan menyelamatkan diri. Sedangkan, anak perempuan bekerja, mengurus rumah, dan kawin.

Potret semacam ini, tidak heran kalau anak-anak di kampung Meurawoe banyak yang bodoh karena tidak sekolah. Namun, tidak menutupkemungkinan, anak-anak yang bersekolah akan pandai. Sebab, guru yang mengajar tidak seratus persen sungguh-sungguh. Mereka hanya menyampaikan materi dengan apa adanya. Anak-anak dibebani oleh teori-teori dan rumus-rumus yang diberikan tanpa penjelasan yang jelas. Benar anak-anak selalu mencatat, namun tidak banyak dari catatan mereka dibaca dan dipelajari ulang. Mereka, termasuk dengan Ismail hanya mencatat tanpa dipelajari. Kenyataan itu tampak pada saat ujian kenaikan kelas berlangsung, Ismail menjawab soal dengan cara mencontek anak yang sama-sama bodoh dan menjawab dengan asal-asalan. Beruntunglah ia, naik kelas. Sedangkan Saidul yang menjawab sesuai dengan ingatan dari hasil belajar menuntunnya menjadi juara satu di kelas.

Tentang pendidikan dalam Bayang Suram Pelangi, perekonomian keluarga membuat anak-anak tidak sekolah. Untuk sekadar makan saja, sering sekali masyarakat memanfaatkan tanaman kangkung di rawa-rawa dan hasil tanaman sendiri. Mereka di musim perang politik tidak mampu menggarap sawahnya karena pasukan tentara senantiasa bergerilya mencari musuh. Letusan peluru sering sekali ditembakkan ke udara untuk menakut-nakuti warga. Di luar rumah hampir sepi tidak ada orang berseliweran. Semua kegiatan jual-beli sepi, termasuk kedai Syalon dan Murtala. Kedua kedai itu dengan terpaksa tutup karena tidak ada orang yang membeli. Masyarakat lebih banyak memilih di rumah untuk keselamatan diri.

Perekonomian semacam itu, teralami oleh keluarga Saidul. Namun, untuk pendidikan keluarga mengusahakan Saidul mendapat kesempatan belajar di atas dua saudaranya. Karena hanya itu yang bisa kedua orang tua berikan untuk pendidikan anak-anaknya. Setiap hari, karena jarak ke sekolah jauh dan harus ditempuh dengan naik sepeda, ibu Saidul berusaha memberikan sarapan terbaik untuknya, seperti telur dadar. Perlakuan berbeda itu sering sekali menimbulkan kecemburuan terhadap saudara-saudaranya. Perlahan, keadaan itu dapat mereka mengerti. Justru, upah dari mereka bekerja selalu diberikan kepada ibunya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan rumah tidak cukup dengan upah pekerjaan ayah sebagai tukang bangunan panggilan. Tidak setiap hari ayah bekerja dan mendapatkan uang. Malah-malah, tidak jarang gaji yang mestinya didapat harus mundur karena suatu hal.

Memanfaatkan hasil panen juga tidak memberikan harapan baik bagi keluarga. Sebab, harga jual sangat murah. Hal itu dikarenakan nilai tukar rupiah menurun, Indonesia mengalami masa krisis dan sedang berusaha mengendalikan nilai rupiah di dunia. Hasil jual panen tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Selain itu, ditambah kondisi sosial yang tidak lekang letusan peluru tentara membuat masyarakat takut, cemas, dan gelisah. Masyarakat sangat tersiksa atas kedatangan pasukan tentara yang mulanya sempat pulang ke Jakarta. Kedatangan tentara itu tidak lain suruhan daripada presiden wanita, Megawati Soekarnoputri. Presiden itu mengirimkan kembali pasukan tentara dengan jumlah lebih banyak. Para tentara itulah yang membuat kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Aceh memburuk.

Pekerjaan tentara, tidak lain keliling menelusuri jejak pemberontak. Mereka keliling kampung dan masuk ke rumah-rumah masyarakat. Tindakan yang dilakukan tentara adalah merampok, merampas, menyiksa, bahkan membunuh warga yang berurusan dengan pemberontak. Keluarga Saidul mengalami ketakutan yang luar biasa, begitu salah satu saudaranya menikah dengan kelompok pemberontak Aceh. Keputusan menikah dengan pemberontak akan menimbulkan risiko besar bagi keluarga. Risikonya siap menyerahkan nyawa sewaktu-waktu. Sebab, tentara tidak akan memberikan kesempatan hidup bagi siapa pun yang berurusan dengan musuh.

Keluarga Saidul pernah mengalami momen menegangkan karena ulah Sani yang datang ke rumah pada malam hari. Setelah kepergian Sani karena bertugas, ia pulang untuk menemui istrinya. Gerak-gerik Sani diketahui pasukan tentara. Tidak lama dari itu, pasukan tentara menggeledah seisi rumah. Sani bersembunyi di bawah kolong kasur yang terdapat terusan ruang bawah tanah. Di situ, Sani mengamankan diri, sedangkan anggota keluarga lain, termasuk Saidul mengondisikan seolah-olah rumah dalam keadaan baik. Tidak ada orang yang datang.

Momen menegangkan lainnya, terjadi pada saat pasukan tentara menggeledah rumah dan mencurigai Saidul adalah kelompok pemberontak. Kejadian itu bermula, siang harinya Saidul berada di pos tentara bersama Tumiren. Kedatangan tentara saat itu tidak lain akan menyiksa dan membunuh Saidul. Alhasil, dari kedatangan itu Saidul dipukuli hingga babak belur. Beruntung ia tidak sampai mati. Keesokan harinya, Tumiren datang ke rumah untuk meminta maaf atas perlakuan pasukan tentara kepada Saidul dan keluarganya. Tumiren datang meminta maaf dan membawakan beberapa makanan untuk keluarga.

Beruntung dari kejadian malam itu, Saidul tidak mengalami luka parah. Mestinya, melihat pengalaman korban sebelum-sebelumnya sudah patah tulang atau tulang rusuknya patah, bahkan meninggal. Kata kakek Abdullah Chik dalam tubuh Saidul ditanam kekuatan untuk melindungi diri. Kekuatan itu ditanam saat Saidul masih kecil. Itulah yang menjadi alasan mengapa tubuh Saidul tidak luka parah. Cukup dengan ramuan dari dedaunan dan minyak kelapa luka memar yang ada di beberapa bagian tubuh akan sembuh.

Gerilya pasukan tentara terus memburu kelompok pemberontak tidak pernah berhenti. Masyarakat Aceh sering menjadi sasaran kemarahan tentara. Ada di antara masyarakat yang terkena peluru, disepak kelaminnya hingga bengkak, disiksa hingga babak belur, dan lain sebagainya. Itu dilakukan setiap mereka keliling kampung. Kejadian yang terus-terusan membuat ketidaknyamanan dan keamanan kampung, akhirnya kampung sepakat melakukan ritual dengan memagari kampung dengan kekuatan magis.

Ritual tersebut dilakukan oleh dukun-dukun di kampung Meurawoe. Dukun-dukun itu, tidak lain Senan, Juhun, dan Samsi. Ketiganya bekerja sama dengan makhluk halus untuk menjaga kampung dari serangan tentara. Termasuk dengan harta benda yang dimiliki oleh warga. Dari ritual dan mantra yang dibaca, masyarakat dapat melihat langsung usaha para dukun mengelabuhi pasukan tentara. Para tentara tidak dapat melihat uang, emas, dan barang berharga warga, sehingga semuanya utuh tidak tersentuh. Namun, yang sempat kecolongan adalah rumah Tuan Pasha. Uang hasil sewa tanah ludes di tangan tentara yang dipimpin oleh Sudiro.

Terceritakan ketiga dukun berkerja sama dengan jin. Guna merealisasikan itu, warga juga diminta untuk membakar kemenyan sebelum Maqrib tiba. Anjuran itu datang dari para dukun di kampung. Ketiga dukun, juga melakukan ritual pembakaran kemenyan di rumahnya untuk menjaga kampung dan senantiasa menyuruh jin-jin peliharaan mereka untuk berjaga di gerbang masuk kampung. Selain perannya menyelamatkan kampung dari tentara, ketiga dukun itu terkenal dengan kekuatan masing-masing. Senan terkenal dengan ilmu perabun, Samsi dengan kekuatan bersatu dengan jin untuk mengangkat pohon kelapa, dan Juhun membuat orang sakit. Di balik cerita para dukun, ketiganya pernah berseteru dengan saling mengirimkan guna-guna.

Selain ketiga dukun itu, terdapat dukun Abdullah Chik. Ia terkenal dengan dukun yang dapat menyembuhkan penyakit orang dengan ramuan yang dibuat sendiri. Ramuan itu diracik melalui olahan dedaunan yang ditumbuk. Abdullah juga mengobati penyakit yang terkena guna-guna. Seperti mengobati seorang pemuda yang pantatnya menungging dan mengeluarkan asap. Abdullah berkata, kalau penyakit karena guna-guna juga harus disembuhkan dengan guna-guna pula. Tokoh berdoa menghadap Allah untuk mengembalikan guna-guna yang dikirim oleh seseorang.

Masyarakat Aceh dalam Bayang Suram Pelangi, kental dengan ilmu magis dengan melakukan ritual. Ritual itu dikenal dengan istilah peusejiuk, berarti upacara, yang dilengkapi dengan sesaji. Masyarakat percaya ilmu yang diturunkan oleh nenek moyang dapat digunakan untuk berbagai hal. Meskipun ilmu tersebut tidak masuk dalam logika manusia, namun hasilnya dapat dilihat dan dirasakan. Seperti halnya, mantra yang ditiupkan pada biji padi untuk mengelabuhi burung-burung di rawa-rawa. Mantra itu dibaca oleh Senan untuk mendatangkan burung-burung yang ada di ruak-ruak. Senan meminta izin kepada penunggu ruak untuk memberikan sedikit burungnya. Tak lama, daripada mantra itu dibacakan burung-burung datang dan masuk perangkap.

Di balik kekompleksan cerita Bayang Suram Pelangi, pada akhir cerita mengisahkan suatu kekecewaan dan kesedihan dari pada Saidul. Ia harus menerima kenyataan apabila gadis yang ia cintai akan menikah dengan tentara. Harapan hidup bersama hanyalah bayangan suram. Serupa harapan hidup damai tanpa letusan peluru dari tentara, rasanya mustahil. Setiap harinya, letusan peluru tidak berkurang seperti suara retih jagung bakar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...