Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (22) Tentang Air Mata

Dear Mas Fendik,

 

Bagaimana kabarmu? Semoga kabar baik di awal November yang akan dibuka dengan kembalinya masuk ruang kerja. Semoga, setelah libur dan cuti bersama ini semangat untuk memberikan terbaik bagi diri sendiri, orang lain, dan negara berkibar-kibar. Tentu, semangat atas hidup harus kita ciptakan sendiri. Kita tidak bisa menunggu suasana ataupun kondisi yang baik. Ragam persoalan seolah tiada henti. Termasuk persoalan pikiran. Rumitnya pikiran kita, sering sekali membuat kondisi semakin keruh.

Aku merasakan di berbagai belahan dunia tak lekang oleh masalah. Baru-baru ini, terlepas korona, publik diramaikan dengan boikot produk Perancis. Dalihnya kebebasan ekspresif. Memang ada kebebasan ekspresif, namun lucunya bebas kok ada batasan. Mestinya, bukan kebebasan namanya. Entah apa supaya tidak membuat pembaca salah paham. Bagi orang awan tentu yang namanya bebas, ya bebas. Tidak ada batasan. Hehehe, bagi orang awan. Mereka saja yang berpendidikan nyatanya juga salah paham.

Tentang karikatur yang seolah menggambarkan Nabi Muhammad saw, menjadi persoalan bagi umat Islam. Pihak Perancis diduga telah menghina Nabi lewat karikatur yang disebut-sebut Nabi.

Hai Mas Fendik, terlepas dari masalah itu, aku hendak mengingatkan padamu. Bulan Oktober telah usai. Selamat ya, kamu telah melewati warna-warni Oktober dengan sebaik yang kamu terima. Selamat datang bagi kita di bulan kedua dari Desember. Semoga tugas dan kewajiban kita segera usai ya.

Penting daripada bulan ini, kita akan disuguhkan oleh perayaan-perayaan nasional. Rasanya istimewa di bulan ini. Setelah sejenak mengingat dan memeringati hari Sumpah Pemuda, tanggal 10 November nanti kita akan memeringati hari Pahlawan.

Kamu masih ingat kan, peristiwa 12 November di Surabaya waktu itu? peristiwa itu dipicu oleh pengibaran bendera Belanda di hotel Yamato. Tentu daripada sikap itu membuat masyarakat Surabaya yang melihat marah. Masyarakat berasumsi Belanda tidak menghargai jerih keringat Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaan.

Aku pikir-pikir, memang tidak berhati atau bagaimana orang-orang Belanda itu. Baru saja, kita bereuforia merdeka, ehh selang tiga bulan Belanda membuat ulah. Tak ayal, kalau memicu marah masyarakat Indonesia, khususnya wilayah Surabaya. Terjadilah peristiwa mengerikan daripada kejadian itu, sehingga penting bagi generasi muda mengingatnya.

Sejarah, melalui sejarah (cerita) kita bisa tahu tentang kejadian-kejadian masa lalu. Aku bersyukur, melalui sejarah membuat lebih semangat untuk hari esok. Jelasnya, dilihat berdasarkan masanya kiwari lebih mudah untuk bergerak dibandingkan silam. Kita hanya perlu mengingat sejarah supaya tidak sampai terulang kembali. Dan, mengingat sejarah membuat kita tunduk—merenung untuk lebih memacu semangat diri. Kalau saja, kita lemah apa yang akan terjadi? Sadar dalam diri untuk berguna bagi tanah air.

Sejarah pula, mengingatkan aku tentangmu. Bagaimana aku bersusah payah mendengkur ulang kisah lama yang syahdu. Menitih harapan di angkasa, tentu bukan sekuat saat lagu-lagu itu mendayu. Ketika diam, kukorek ulang catatan-catatan yang tertindih waktu. Membaca ulang tutur kata-katamu adalah cara terbaik memelajari sejarah lebih dalam.

Kasmaran aku padamu. Bersikap biasa saat getaran-getaran itu kembali berselimut. Membaca sejarah bukan berarti mengingat luka. Lebih dari itu, untuk menyembuhkan luka kepada mereka yang terluka. Belajar daripada luka orang lain akan membuatnya hati-hati—dalam segala hal, sikap, tutur, dan tindak, serta pikiran.

Hai Mas Fendik, bantu aku menyelesaikan air mata. Rumusan-rumusan yang kubuat tidak cukup mempan untuk menjawab tetesannya. Padahal, latar belakang sudah kutempuh dengan susah payah. Aku sudah berusaha membuat rumusan yang tepat sasaran, namun hasilnya air mata itu semakin merah—berdarah. Ia menghias pada bagian-bagian kecil yang tidak tampak. Termasuk di sini, hati.

Mati-matian, kujelaskan di bab analisa. Teori kugunakan untuk membongkarnya, supaya timbul makna daripada setiap tetesnya. Kuberikan bumbu filosofi-filosofi kehidupan supaya apa yang kuselesaikan tidak mentah. Pertanyaannya adalah, mungkinkah mereka dapat meresapi setiap filosofi yang kuhadirkan, sebab semua berkutat pada sudut pandang. Tentang baik yang tidak selalu benar; tentang benar yang cenderung pada baik; dan kadang pula tentang benar yang tidak baik.

Rasanya, aku butuh bantuan untuk menyelesaikan ini. Buku-buku yang kubaca, telah kubahasakan ulang tidak membuat mereka menyadari telah menciptakan air mata. Selanjutnya, apa yang harus aku perbuat. Sementara dalam hati, selalu berkata apa kelak Indonesia membutuhkanku lewat gagas cerdas dan terampil ini?

Kata mengajarkan aku tentang kesabaran—sabar membaca informasi, memahami, meresapi, memaknai setiap rangkaiannya. Daripada kata, kesabaran aku dites dan tentang hasil selalu ada di akhir. Tidak ada hasil di awal, itu namanya hasil bohongan.

Tentang ini, siap atau siapakah yang mambantu menghentikan air mata? Rasanya sudah cukup berat untuk melukai luka yang belum kering. Terlebih,  bukankah saatnya kita bersatu dan bangkit bersama.

Barangkali, rangkaian daripada tetes air mata sesungguhnya merupakan sejarah. Yang esok dapat kita tengok ulang—tidak sekadar belajar tetapi memaknai sejarah dalam diri (hati) manusia.

Semoga, kita akan baik-baik saja dengan memilih jalan masing-masing.

Salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...