Dear Mas Fendik,
Bagaimana kabarmu? Semoga kabar baik di awal November yang akan dibuka dengan kembalinya masuk ruang kerja. Semoga, setelah libur dan cuti bersama ini semangat untuk memberikan terbaik bagi diri sendiri, orang lain, dan negara berkibar-kibar. Tentu, semangat atas hidup harus kita ciptakan sendiri. Kita tidak bisa menunggu suasana ataupun kondisi yang baik. Ragam persoalan seolah tiada henti. Termasuk persoalan pikiran. Rumitnya pikiran kita, sering sekali membuat kondisi semakin keruh.
Aku merasakan di berbagai belahan dunia tak lekang oleh masalah. Baru-baru ini, terlepas korona, publik diramaikan dengan boikot produk Perancis. Dalihnya kebebasan ekspresif. Memang ada kebebasan ekspresif, namun lucunya bebas kok ada batasan. Mestinya, bukan kebebasan namanya. Entah apa supaya tidak membuat pembaca salah paham. Bagi orang awan tentu yang namanya bebas, ya bebas. Tidak ada batasan. Hehehe, bagi orang awan. Mereka saja yang berpendidikan nyatanya juga salah paham.
Tentang karikatur yang seolah menggambarkan Nabi Muhammad saw, menjadi persoalan bagi umat Islam. Pihak Perancis diduga telah menghina Nabi lewat karikatur yang disebut-sebut Nabi.
Hai Mas Fendik, terlepas dari masalah itu, aku hendak mengingatkan padamu. Bulan Oktober telah usai. Selamat ya, kamu telah melewati warna-warni Oktober dengan sebaik yang kamu terima. Selamat datang bagi kita di bulan kedua dari Desember. Semoga tugas dan kewajiban kita segera usai ya.
Penting daripada bulan ini, kita akan disuguhkan oleh perayaan-perayaan nasional. Rasanya istimewa di bulan ini. Setelah sejenak mengingat dan memeringati hari Sumpah Pemuda, tanggal 10 November nanti kita akan memeringati hari Pahlawan.
Kamu masih ingat kan, peristiwa 12 November di Surabaya waktu itu? peristiwa itu dipicu oleh pengibaran bendera Belanda di hotel Yamato. Tentu daripada sikap itu membuat masyarakat Surabaya yang melihat marah. Masyarakat berasumsi Belanda tidak menghargai jerih keringat Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaan.
Aku pikir-pikir, memang tidak berhati atau bagaimana orang-orang Belanda itu. Baru saja, kita bereuforia merdeka, ehh selang tiga bulan Belanda membuat ulah. Tak ayal, kalau memicu marah masyarakat Indonesia, khususnya wilayah Surabaya. Terjadilah peristiwa mengerikan daripada kejadian itu, sehingga penting bagi generasi muda mengingatnya.
Sejarah, melalui sejarah (cerita) kita bisa tahu tentang kejadian-kejadian masa lalu. Aku bersyukur, melalui sejarah membuat lebih semangat untuk hari esok. Jelasnya, dilihat berdasarkan masanya kiwari lebih mudah untuk bergerak dibandingkan silam. Kita hanya perlu mengingat sejarah supaya tidak sampai terulang kembali. Dan, mengingat sejarah membuat kita tunduk—merenung untuk lebih memacu semangat diri. Kalau saja, kita lemah apa yang akan terjadi? Sadar dalam diri untuk berguna bagi tanah air.
Sejarah pula, mengingatkan aku tentangmu. Bagaimana aku bersusah payah mendengkur ulang kisah lama yang syahdu. Menitih harapan di angkasa, tentu bukan sekuat saat lagu-lagu itu mendayu. Ketika diam, kukorek ulang catatan-catatan yang tertindih waktu. Membaca ulang tutur kata-katamu adalah cara terbaik memelajari sejarah lebih dalam.
Kasmaran aku padamu. Bersikap biasa saat getaran-getaran itu kembali berselimut. Membaca sejarah bukan berarti mengingat luka. Lebih dari itu, untuk menyembuhkan luka kepada mereka yang terluka. Belajar daripada luka orang lain akan membuatnya hati-hati—dalam segala hal, sikap, tutur, dan tindak, serta pikiran.
Hai Mas Fendik, bantu aku menyelesaikan air mata. Rumusan-rumusan yang kubuat tidak cukup mempan untuk menjawab tetesannya. Padahal, latar belakang sudah kutempuh dengan susah payah. Aku sudah berusaha membuat rumusan yang tepat sasaran, namun hasilnya air mata itu semakin merah—berdarah. Ia menghias pada bagian-bagian kecil yang tidak tampak. Termasuk di sini, hati.
Mati-matian, kujelaskan di bab analisa. Teori kugunakan untuk membongkarnya, supaya timbul makna daripada setiap tetesnya. Kuberikan bumbu filosofi-filosofi kehidupan supaya apa yang kuselesaikan tidak mentah. Pertanyaannya adalah, mungkinkah mereka dapat meresapi setiap filosofi yang kuhadirkan, sebab semua berkutat pada sudut pandang. Tentang baik yang tidak selalu benar; tentang benar yang cenderung pada baik; dan kadang pula tentang benar yang tidak baik.
Rasanya, aku butuh bantuan untuk menyelesaikan ini. Buku-buku yang kubaca, telah kubahasakan ulang tidak membuat mereka menyadari telah menciptakan air mata. Selanjutnya, apa yang harus aku perbuat. Sementara dalam hati, selalu berkata apa kelak Indonesia membutuhkanku lewat gagas cerdas dan terampil ini?
Kata mengajarkan aku tentang kesabaran—sabar membaca informasi, memahami, meresapi, memaknai setiap rangkaiannya. Daripada kata, kesabaran aku dites dan tentang hasil selalu ada di akhir. Tidak ada hasil di awal, itu namanya hasil bohongan.
Tentang ini, siap atau siapakah yang mambantu menghentikan air mata? Rasanya sudah cukup berat untuk melukai luka yang belum kering. Terlebih, bukankah saatnya kita bersatu dan bangkit bersama.
Barangkali, rangkaian daripada tetes air mata sesungguhnya merupakan sejarah. Yang esok dapat kita tengok ulang—tidak sekadar belajar tetapi memaknai sejarah dalam diri (hati) manusia.
Semoga, kita akan baik-baik saja dengan memilih jalan masing-masing.
Salam.
Komentar
Posting Komentar