Langsung ke konten utama

Postingan

PILIHAN

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...
Postingan terbaru

To Be Happy

10 hari lagi, ada beberapa hal yang akan berubah. Ketika aku benar menjadi seseorang yang dapat dipercaya orang lain. Doaku adalah kepercayaan jangan disia-siakan. Menjadi seseorang terpercaya adalah suatu hal yang tidak mudah. Seseorang, begitu pula aku butuh pertimbangan atas sebuah gambaran ke depannya. Karenanya, menjadi seseorang, menjadi 'aku' hanya aku yang dapat merasakan seutuhnya. Kamu, kalian, dan mereka hanya bisa menilai, tanpa turut merasakan tentang kebenaran fisik dan psikis. Yang pasti, tidak mudah. Don't forget to be happy, Suci. Jangan lupa bahagia. Sejenak lupakan penilaian-penilaian kurang baik tentangmu. Jadilah pribadi yang sehat. Masa depan menunggumu...

Surat untuk Mas Fendik (24)

Sering sekali, orang-orang melihat orang lain pada saat ini. Saat ia berada pada roda kehidupan yang cukup, bahkan amat mulia. Mereka lupa, untuk menuju ke sana, perlu melewati ribuan goda hidup. Yang aku tahu, untuk menjadi 'Aku' tidak muda. Ada proses, perjalanan panjang. Seperti halnya aku. Puji Tuhan, berada pada titik ini. Menengok lima tahun lalu, tujuh tahun lalu, sepuluh tahun lalu, hingga pada dua puluh empat tahun lalu.  Dunia teramat asing bagiku. Tangis adalah cara bahasa yang paling efektif untuk merepresentasikan apa yang kulihat, dengar, dan rasakan. Suara ibu, sentuh ibu, hingga pada pengenalan jejak langkah ibu, juga orang-orang di sekitarku. Menuju ke sana, aku berlatih ulang, sangat lambat untuk sekadar mengenali diri. Bahkan, hingga pada hari ini terkadang aku lupa siapa aku. Identitas sering alpha dalam pikiran. Nyatanya, pertanyaan tentang siapa aku masih terus memberondong. Cerita dari cerita-cerita orang sekitar, pertanyaan itu akan senantiasa skeptis hi...

Surat untuk Mas Fendik (23)

Terkabar dari aku yang sedang istirahat ini, tanpamu dalam pengertian lain, entah pada di titik mana sekarang ini.  Hadirnya, hadirmu membuka catatan suci, suatu sifat dan sikap masa kecil.  Kau tahu, Mas tiada lara yang lebih pedih daripada kehilangan. Hilang, berarti tiada. Bisa kembali, dan pergi selamanya, disebut kematian.  Indah doa, lurus jalinan asmara karena doa. Doamu, doa kita pada sujud harapan. Aku tahu, tiada salah seseorang berharap. Bukannya tanpa harapan mengisyaratkan kurangnya greget hidup?  Mas Fendik, kasihmu dalam.  Terima kasihku atas rasa datang-pergi tak duga. Yang ada, kepingan-kepingan bersamaan tetap abadi, kini dalam aksara. Akrab bersama potongan cita dan cinta mengajak ulang mengingat pada suatu harapan besar menjadi orang besar. Orang yang tunduk pada norma, aturan, dan adat istiadat, serta kepercayaan juga keyakinan diri.  Berjuang memilih cita dan cinta, tentu dukungan adalah segalanya. Dirimu yang terpercaya atas kedewasaa...

Surat untuk Mas Fendik (22)

Mas Fendik, 14 Januari 2021 lalu, aku mengikuti sebuah diskusi rencana pembuatan media sastra online. Diskusi itu berada di salah satu tempat yang kini aku tempati. Ya, ada sekitar sepuluh orang, dua di antaranya aku dan temanku, lainnya laki-laki. Senang, pastinya karena aku rindu suasana semacam ini. Pagi menjelang siang kami memulai perbincangan itu. Yang ingin aku ceritakan kali ini kepadamu adalah sebuah kepercayaan dan tanggung jawab. Mengapa kukatakan kepercayaan? karena sejauh ini aku dipercaya untuk membantu kampus dalam beberapa program. Kalau di tahun lalu 2016-2017 bergabung dalam kepanitiaan Sekolah Literasi Gratis, dan kini, aku lagi-lagi dipercaya untuk bergabung lagi. Bukan menjadi panitia SLG, melainkan humas bayangan dan admin dua media online kampus.  Oh ya, maaf, dua media online inilah yang kami diskusikan waktu itu. Kedua media itu bernama lensasastra.id dan literasigratis.id. Pertanyaannya adalah, pastinya kau akan menanyakan tentang peran dan tugasku di sana...

Pertemuan Waktu

  Pada sebuah catatan yang tidak rapi, kau hidup sebagai aksara. Aku tidak tahu kegilaan itu terbuat dari apa. Yang jelas, aku benar-benar gila setelah kau putuskan untuk meninggalkan musim tahun ini. Kesekian kalinya, catatan itu aku tata ulang. Dari satu lembar hingga ratusan lembar lainnya. Kuletakkan di atas meja bersebelahan dengan berkas-berkas kuliah yang tidak penting. Kembali, di antara kesibukan hujan meneror bumi, juga petir yang marah-marah, catatan itu berusaha aku rapikan. “Sampai kapan selesai?” tanya Parki, teman kos yang bukan lagi teman, melainkan saudara. Tiga tahun sudah kami serumah. Mengontrak sebuah rumah kosong yang harganya paling murah di antara rumah-rumah lainnya. Parki mengaduk-aduk kopinya. Ia duduk di sofa. Kakinya yang mengakang membuat kentara celananya yang sobek. Bukan suatu lelucon, memang tidak ada celana yang ia miliki tidak sobek. Entah pada sakunya, atau bagian samping atau pada tengah selangkangan. “He, bodoh kupastikan tidak akan ...

Desa Kehilangan Identitas Damai

Judul buku: Aib dan Nasib Penulis: Minanto Tahun terbit: Pertama, Juli 2020 Penerbit: CV Marjin Kiri Tebal buku: i-vi, 263 halaman ISBN: 978-602-0788-00-5   Keberhasilan Minanto menjadi pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019 adalah bukti betapa hal-hal yang bersinggungan dengan konflik masyarakat rural (pedesaan) menarik untuk diperbincangkan. Rentetan konflik seakan-akan enggan menepi dari daratan kemiskinan. Melalui novel kali ini, Minanto secara totalitas menyajikan potret k o nflik pedesaan di tanahnya, Indramayu. Sepakat dengan sastrawan George Bernard Shaw, sastra novel tidak jauh dari kehidupan pengarang itu sendiri. Dengan diterbitkannya buku yang lahir dari perandungan novelis, novel ini sesungguhnya representasi masya ra kat kita. Di balik konflik pedesaan, sekaligus kehidupan yang didominasi peran laki-laki, ada panorama kegagapan teknologi berupa telepon genggam. Minanto menggambarkan tokoh-tokoh pemuda bergantian menggunakan telepon untuk sekadar ber...

Derit Jerit Tentang Indonesia

  Barangkali, nasib Arafat Nur serupa dengan Seno Gumira Ajidarma, dan sastrawan lainnya. Sastra dijadikan peraduan suara hati mengungkap kebenara n . K eduanya , melepas jaring kebusukan yang membombardir pikiran. K arya-karya Arafat—baik novel maupun cerpen dapat dikatakan sebagai sebuah kritik pedas terhadap kekuasaan. Arafat memotret kekuasaan, menelanjangi persoalan duniawi. Arafat pula, merepresentasikan budak-budak tanah air dengan sejumlah ketakutan, kecemasan, dan kegelisahan. Perasaan itu berkecambuk, tiada siang maupun malam. Bayangkan, dalam penceritaan yang detail, kronologis, dan ekspresif kita digiring melalangbuana melihat dan merasakan konflik antara pemerintah d an kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976 - 2005. 29 tahun, bukanlah waktu yang singkat melukis luka di tanah air. Seolah-olah di belahan bumi Aceh tampak kemengaliran darah daripada korban-korban kebisingan. K onflik di tahun-tahun pembantaian (sebut Arafat) banyak menyita prihatin publ...