Langsung ke konten utama

Kontribusi Pendidikan Kontruktivistik


Pilkada DKI Jakarta yang berlangsung bulan Februari kemarin, dan telah dimenangkan oleh pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Kebahagiaan atas kemenangan menjadi pemimpin ibu kota adalah reward setelah bersaing memeras tenaga dan pikiran untuk menempati jabatan yang diinginkan. Saatnya, pemimpin baru bekerja untuk rakyat, sesuai dengan janjinya saat kampanye.

Berbicara soal janji, Sandiaga Uno menyampaikan, “…akan mengumpulkan mereka yang tercerai berai, merajut apa yang telah terkoyak, dan menyatukan apa yang sudah terpecah belah demi Jakarta”. Ketiga janji tersebut, sangatlah produktif mengingat permasalahan demi permasalahan di ibu kota tidak pernah surut. Misalnya, permasalahan dalam dunia pendidikan. 

Pendidikan hakikatnya, tindakan niscaya untuk membangun kehidupan yang bermartabat. Pendidikan pula, merupakan manivestasi hidup jangka panjang. Sayangnya, pendidikan di Indonesia secara umum tergolong minus. Mulai dari kualitas guru, kurikulum yang selalu diganti, hingga lulusan pendidikan yang  pengangguran. Menyinggung soal lulusan pendidikan, rata-rata mereka yang sudah lulus bukannya siap praktik di dunia kerja, tetapi bingung karena tidak memiliki keterampilan. Permasalahannya, ketika duduk di bangku pendidikan, kebanyakan guru masih menerapkan model pembelajaran behavioristik.

Di mana, guru sebagai subjek pembelajaran sehingga siswa bersifat pasif. Keterampilan dan kreativitas siswa benar-benar dibatasi. Guru lebih banyak menjelaskan teori dibandingkan dengan praktik. Padahal kita tahu, kerasnya hidup di zaman sekarang, teori itu tidak terlalu penting. Justru yang terpenting adalah praktik. Bagaimana siswa dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat sebagai bekal masa depan. Lebih parahnya lagi, hasil belajar siswa harus sama dengan apa yang disampaikan gurunya. 

Hal ini, bertolak belakang dengan pembelajaran kontruktivistik. Di mana siswa dibebaskan mencari ilmu pengetahuan dan wawasan melalui proses pengalaman. Siswa diharapkan berperan aktif, kreatif, dan inovatif saat pembelajaran berlangsung, yaitu boleh berpendapat, berargumentasi, dan memberikan usul sesuai pengetahuan yang didapatkan. Kontruktivistik menekankan pada keterampilan dan kreativitas siswa dibandingkan teori. Teori digunakan sebagai pemahaman saja, yang utama adalah praktik supaya kelak lulusan yang dihasilkan mampu bersaing di dunia kerja.

Untuk itulah, guna bersatu membangun kehidupan yang bermartabat, pendidikan kita harus berjalan selaras dan seimbang antara kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan, dan guru. Pemerintah mampu mengeluarkan atau mengontribusikan agar pendidikan yang tercipta nantinya adalah pendidikan yang mampu bersaing di era global. Bukan tak mungkin, lulusan pendidikan tanpa dibekali keterampilan, terbukti hidupnya semrawut—menjadi pengangguran tak jelas. Hal inilah dampak besar praktik pendidikan yang tidak dikelola dengan lugas dan sungguh-sungguh, yang hanya melahirkan tragedi kehidupan—pengangguran.

Kepedulian sepenuh hati pada pendidikan, itulah kiranya belum dimiliki para pemimpin negeri. Harapannya, pemimpin baru mampu mengontribusi pendidikan yang tepat bagi peserta didik. Yakni menekankan pada keterampilan (soft skill). Tak lain untuk meningkatkan kualitas lulusan pendidikan agar jumlah pengangguran di negeri berkurang secara bertahap.

Mari, bersatu meningkatkan kualitas pendidikan unggulan melalui pendidikan kontruktivistik. Dengan maksud, pendidikan benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa, memutus rantai kemiskinan dan ketertimpangan sosial. Sebab, pendidikan adalah perisai atas masa depan bangsa dan negara. Serta meningkatkan keyakinan diri melalui keterampilan yang kita miliki guna menambah pengetahuan yang kemudian seseorang semakin yakin untuk tampil di depan umum, misalnya.

*Tulisan di atas pernah termuat di Radar Ponorogo, edisi Jumat, 15 Agustus 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...