Keberhasilan sebuah program pendidikan hendaknya diikuti
praktik yang sinergis dari berbagai pihak. Pendidikan yang erat dengan
lingkungan sosial ini tidak dapat berdiri sendiri. Pendidikan membutuhkan
tangan kanan sebagai penggerak meraih tujuan dan cita-cita yang ingin dicapai. Hakikatnya,
pendidikan tidak sekadar belajar mendengar, melihat, merasa apa yang belum kita
tahu. Melainkan pemaknaan dan pemahaman, serta kesadaran. Pendidikan merupakan
lompatan indah dari strategi perencanaan keberhasilan bangsa.
Keberhasilan pendidikan dapat dilihat dari sikap, karakter
dan perilaku keseharian. Sebagaimana diungkapkan tokoh pendidikan Ki Hajar
Dewantara. Pendidikan adalah upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin dan karakter), pikiran (intellect),
dan tubuh anak. Bagian-bagian ini tidak dapat dipisahkan karena sebagian komponen
memajukan hidup anak-anak.
Menindaklanjuti pernyataan tersebut, kita
mendapatkan kata kunci utama ‘budi pekerti’. Tentunya kita tahu budi pekerti
yang kita kenal adalah menyoal perilaku, tingkah laku, kebiasaan, juga
keseharian yang dilakukan manusia. Segala bentuk kegiatan yang dilakukan
manusia semua bermula dan berakhir pada bentuk budi pekerti.
Dalam dunia pendidikan anak sebagai objek pendidikan.
Sementara guru berperan subjek pendidikan. Yaitu guru berperan mengawasi juga
memberikan contoh yang baik kepada siswa ketika berada di lingkungan sekolah.
Begitupula orang tua berperan mendidik, mengawasi, juga mendampingi segala
bentuk aktivitas anak dalam keseharian. Orang tua hendaknya tahu; apa yang anak
lakukan dan dengan sia[a anak bergaul. Tak kalah pentingnya, peran masyarakat.
Kebiasaan dan kebudayaan yang ada di masyarakat memiliki pengaruh besar guna
mendukung pemberdayaan budi pekerti bagi anak. Masyarakat harus bertindak
sebagai refleksi sosial.
Berbicara soal pendidikan Indonesia, tampaknya kita harus
banyak-banyak intropeksi. Ibaratnya pendidikan itu kain putih, penuh dengan
noktah hitam yang cukup memprihatinkan. Fenomena yang sering muncul di dunia
pendidikan menjadi topik hangat di berbagai media. Misalnya, keburukan
pendidikan di antaranya banyak siswa yang tidak lulus ujian, sering bolos
sekolah, guru melakukan kekerasan fisik terhadap siswa, kompetensi guru yang
minim. Juga, guru hanya menyuruh tanpa memberi teladan, sistem pendidikan
dipandang sebelah mata, kurikulum membuat bingung karena setiap ganti menteri
ganti kurikulum, biaya pendidikan naik, hak siswa meraih pendidikan kurang,
sekolah kurang memfasilitasi siswa untuk pengembangan bakat, dan hubungan
sosial sering bertolak belakang dengan pendidikan.
Keburukan pendidikan di atas miris rasanya jika disebutkan
satu per satu. Untuk menekan keburukan tersebut perlu kerja sama antarlembaga
dan wali murid. Terlebih juga masyarakat yang tidak kalah berbahaya dan penting
ketika mampu memberikan pengaruh kepada anak.
Sementara, bagi masyarakar Jepang, pendidikan itu utama dan
nomor satu. Antara guru, orang tua, dan masyarakat memiliki pemikiran dan
komitmen yang sama untuk merancang proses pendidikan yang sehabt. Artinya,
semua pihak saling bekerja sama, mendukung, dan turut serta terjun dalam dunia
pendidikan.
Pemantauan pendidikan di Jepang sangat kuat. Tidak ada siswa
yang membolos sekolah, seperti di Indonesia. Jangankan membolos, jika siswa
tidak masuk sekolah dia akan sangat menyesal. Ketika masuk sekolah dengan aktif
akan segera menemui gurunya, lalu bertanya tentang pembelajaran materi yang
sempat tidak mereka ikuti. Jika ada tugas maka langsung meminta mengerjakan
tugas tersebut.
Selain itu, siswa malu apabila terlambat masuk sekolah. Pembiasaan
tertib dan disiplin di Jepang sangat diutamakan. Begitu di lingkungan keluarga,
ketika sudah jadwalnya makan maka mereka segera makan. Tak kalah uniknya, ada
pembelajaran yang diberlakukan anak Jepang, yaitu berupa ikrar tiga jati diri
yang baik.
Pertama, jika berkata tidak berbohong. Kedua, jika berjanji
tidak berkhianat. Dan ketiga adalah jika diberi amanah selalu disampaikan. Tiga
ikrar itu sudah melekat kuat dalam diri anak. Oleh karena aitu, tidak diragukan
jika anak-anak yang hidup di Jepang memiliki budi pekerti yang baik.
Kembali pada beberapa keburukan pendidikan kita, tidak ada
salahnya mencoba belajar dari pendidikan di Jepang. Pasalnya, keberhasilan
program pendidikan kembali pada budi pekerti dari berbagai pihak pendidikan,
seperti guru, orang tua, dan masyarakat. Untuk itulah pendidikan budi pekerti
menjadi tombak utama mewujudkan keberhasilan suatu pendidikan yang
dimimpi-mimpikan selama ini. Semoga!
*Tulisan di atas
pernah termuat di Radar Ponorogo, edisi 10 Agustus 2017.
Komentar
Posting Komentar