Judul
di atas mungkin lain dari yang lain. Selingkuh cenderung diartikan sesuatu yang
berbau negatif. Namun, kali ini penulis akan membawa pembaca pada pemaknaan
selingkuh secara positif. Selingkuh
bagi seorang penulis atau sastrawan adalah petualangan baru yang tidak akan
terjadi ketika pelakunya seorang pegawai, pebisnis, dan lainnya. Selingkuh ini berobjek pada
karya. Mereka dengan bebas selingkuh, lalu kawin tanpa harus menikahinya.
Kemudian, melahirkan benih-benih baru yang tumbuh menjadi anak dan berkembang
dengan semestinya.
Seperti
yang diungkapkan seorang sastrawan, penulis, juga pemenang lomba asal Ngawi,
Tjahjono Widarmanto, saat menjadi
pemateri di Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Ponorogo, “Penulis itu tipe orang yang tidak setia. Ia suka bermain-main sesuka
hatinya.” Memaknai
arti tidak setia di atas, laiknya pelaku selingkuh (menikung dari garis
koridor). Namun, jangan salah mengartikan. Tidak setia di sini masih berkutat
terkait dunia tulis menulis, atau literasi orang menyebutnya.
Tjahjono
Widarmanto, atau biasa di sapa Wid itu, menjelaskan bahwa dia termasuk dalam
golongan penulis yang tidak setia. Saat berkecimpung menggeluti dunia sastra,
ia jatuh cinta pertama kepada puisi; jatuh cinta kedua kepada esai; jatuh cinta
ketiga cerita pendek atau cerpen dan; jatuh cinta keempat kepada event-event lomba.
Tak heran, ternyata hasil perselingkuhannya dengan sastra mampu membawa dirinya
mengalami perubahan besar.
Penulis
tak dapat menampik, selingkuh sastra ala penulis yang sudah 7 kali memenangi
sayembara penulisan tingkat Nasional itu. Ia mengaku terpuaskan begitu
berdampingan dengan dunia kata-kata. Baginya, menulis adalah berbagi
pengalaman. Penulis tidak perlu action
dengan berdiri di depan khalayak umum, atau di podium yang besar. Hanya
berbekal pena dan kata-kata dalam karyanya penulis sudah layaknya seorang
khutbah, da’i, guru, bahkan malaikat yang mengajarkan suatu kebenaran dalam
kacamata tertentu.
Penulis
dengan bebas mengutarakan dan mengungkapkan pemikiran-pemikiran barunya lewat
pena yang tergores melalui lembaran kosong atau komputer. Dunia menulis adalah
dunia pendekar—samurai. Ibaratnya, penulis itu seperti raja hutan. Seorang raja
yang ditakuti oleh rakyatnya tanpa pandang bulu. Karyawan, guru, pegawai PNS,
dosen, pilot, tentara, bahkan presiden pun takut dengan namanya penulis.
Coba
bayangkan, jika ada satu atau dua penulis yang menuliskan tentang kerusuhan
Negara, kemudian dimuat media Nasional. Siapa yang tidak menyangkal, pastilah
tulisan itu akan dibaca entah tangan kanan atau asisten Negara. Kemudian mereka
melapor kepada pimpinan Negara. Jika tidak terima penulis diadili—bertanggung
jawab akan tulisannya, jika terima memang itulah kenyataan yang tengah terjadi.
Tak
khayal, orang besar kadang juga takut dengan namanya penulis. Mengapa demikian?
Karena penulis memaparkan hasil observasinya, penelitiannya, dan pengamatannya
secara nyata dengan landasan, teori, dan data yang riil yang mampu menguatkan
karyanya. Dari mana penulis mendapatkan data, tentunya melalui
kejadian-kejadian yang ada. Mereka berpetualang mencari alasan yang tepat dan
sesuai. Misal, menyimpulkan
dari hasil wawancara.
Selain
data hasil wawancara, penulis juga harus banyak-banyak mencari literature dari buku. Membaca dan
membaca terkait topik yang tengah diangkat. Penulis tidak boleh sekadar
berpendapat tanpa teori alias ngawur.
Karena, salah satu sifat penulis memiliki jiwa yang jujur. Penulis jujur akan
disegani dan dipercaya pembaca. Dengan begitu, karya tulis dapat diakui
publik--mampu mencerahkan dan membangunkan pembaca.
Selingkuh
dengan sastra, nampaknya memang tepat untuk saat ini. Dunia semakin hingar
bingar, konflik terus berdatangan—tidak larut justru semakin menegangkan. Semua
orang mencari dan membongkar ragam kesalahan. Mereka menyuarakan kebenaran,
keadilan, dan ke-ke lainnya sehingga melibatkan masyarakat bawah yang tidak
tahu apa-apa dan mengerti apa-apa.
Ibaratnya, mereka seperti ayam diberi makan. Jika ada makanan di arah
utara, mereka dengan semangat lari ke arah utara; jika makanan digulirkan ke
bawah, mereka akan mengejarnya. Ya, itulah kita.
Kadang
memang aneh. Tapi lebih aneh lagi, mereka yang berpendidikan bukan mendidik
menuju lebih baik, justru memprovokasi mereka sebagai alat perang. Lalu,
bagaimana cara mengatasi hal demikian? Lewat pena, melukis kata dalam karya.
Semoga selingkuh dengan sastra dapat meminimalisir kerusuhan-kerusuhan yang
ada. Selamat mencoba, menulis sarana mengungkapkan jiwa dengan cerdas dan
terdidik!
*Tulisan di atas pernah termuat di Radar
Ponorogo,
edisi 23 Agustus
2017.
Komentar
Posting Komentar