Langsung ke konten utama

Reportase: Sebab Menulis


Keyakinan niat menulis, bisa menulis hingga sukses dari menulis menjadi serbuk hipnotis. Tip mudah menulis bagi penulis muda Ponorogo ditawarkan Sutejo, penulis 38 judul buku asal Ponorogo saat mengisi Gerakan Santri Menulis di Ponpes Al-Munjiyah Durisawo Ponorogo, Minggu (5/11).

Madrasah literasi yang diadakan IPNU-IPPNU Ponorogo bekerja sama dengan Robithoh Ma’ad Islami (RMI), salah satu lembaga organisasi NU yang menaungi pondok pesantren se-Ponorogo. Mengusung tema Membangun Budaya Literasi Menuju Kemandirian Santri di Era Digital. 

Ketua IPPNU Ponorogo, Mazaya Fikrotil Aimmah mengharapkan agar santri terus belajar. Salah satunya belajar menulis guna mengingatkan dan menyadarkan santri terhadap sejarah Islam terdahulu bahwa para tokoh Islam sukses karena karya. 

Sutejo, lewat pemaparannya mengaku menulis sejak duduk di bangku SMP. Tepatnya ketika merasa jatuh cinta. Ia setiap hari menulis di mesin ketik hampir setebal kamus bahasa Inggris dengan ukuran kertas folio.

Rasa gelisah, baginya juga memantik untuk menulis. Tuturnya, ketika hati merasa gelisah dan bingung justru lancar menulis. Sebab, bagi Sutejo menulis adalah cara bercerita—meluapkan segala persoalan tanpa melakukan hal yang dapat menyakiti diri. 

“Sekitar dua minggu ini saya gelisah. Lalu menulislah menghasilkan hampir 200-an halaman dengan satu spasi,” tutur Sutejo di hadapan 400 santri se-Ponorogo.

Dosen perguruan tinggi swasta di Ponorogo itu, menuturkan manfaat menulis di antaranya banyak pengagum, tidak mudah stres, mencari uang, dan kualitas diri. Salah satu cara menempuh keberhasilan menulis, Sutejo menyuguhkan alternatif menarik yakni motivasi menulis dengan mengubah mindset. Cerita pengalaman orang sukses lebih banyak menggunakan otak kanan. Ketika otak kiri mengirim pesan ‘saya tidak bisa menulis’ maka otak kanan akan mengirim pesan dengan ‘saya pasti bisa menulis’

Cara mengubah pandangan itu, kata Sutejo, santri butuh keseimbangan antara kenyataan dan harapan, merancang kebutuhan, dan penguatan diri. 

“Bila santri malas sekarang harus rajin, memiliki etos kerja tinggi, dan tidak mudah pantang menyerah,” tambahnya.

Kendatipun demikian, sebab menulis adalah muncul dari diri. Sesuai dengan jargon Hari santri Nasional yang berbunyi, “Santri Mandiri, NKRI Hebat!”

*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 21 November 2017.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...