“Kapan
Eyang pulang, Bu?” tanya Kalila.
“Kamu
berdoa saja untuk Eyang.”
Ibu
menelangkupkan selimut di tubuh Kalila. Ia meninggalkan anak berumur
enam tahun itu dalam remang-remang lampu kamar. Ada luka yang menganga. Hatinya
koyak keras, perih.
Siapa
tahu bahwa benar Kalila sudah tidur. Anak bermata bening itu lantas menghempas selimutnya hingga di pinggir
kasur. Dibukanya bibir jendela kamar. Malam itu ia menunggu bintang jatuh. Kata
Eyang, berdoa saat ada bintang jatuh akan dikabulkan.
***
Kisah
ini terjadi dua musim lalu.
Empat orang berseragam loreng datang ke rumah. Dua di antaranya tanpa basa-basi
menyeret tangan Eyang. Tubuh renta Eyang terhuyung. Mereka terus menyeret lebih
kuat. Satu orang lainnya membuang buku yang mula dipegang Eyang. Orang satunya lagi, membungkam mulut Eyang dengan kain kumal.
Kau
tahu, saat itu Eyang sedang mendongengkan Kalila tentang sejarah. Tibanya orang
bertubuh gempal itu Kalila meringkuk di bawah meja ukir. Baju birunya
sudah penuh dengan ingus. Ia berteriak-teriak memanggil Ibunya yang ada di
dapur
sambil sesekali membuka menutup mata.
“Lepaskan
Eyang!” pekik Kalila menyadari Eyang diseret keluar
oleh orang-orang bertubuh gempal. Wajahnya seram seperti monster-monster di
kartun. Dengan sebilah hati yang mulai retak, Ibu memeluk Kalila erat. Kalila
ketakutan. Wajahnya mendadak pucat. Ingusnya terus mengalir hingga kerah baju
terasa basah.
Tentang
kepergian Eyang, Kalila tidak pantas tahu. Sebab Ayah takut, kelak saat ia
dewasa akan tumbuh jiwa pendendam sepertiku. Tetapi, aku tidak menyesal
memiliki rasa dendam ini. Aku tahu diri meletakkan dendam. Berbeda dengan Kalila,
anak baru bisa membaca itu.
Suatu
malam, saat Kalila menangis, Ayah datang membawa beberapa buku dongeng tentang
sejarah. Kalila meraih buku itu. Sobekan plastik pembungkus buku berhamburan di
lantai. Ia tidak menghiraukan, meski akan dimarahi Ibu kalau saja tahu membuang
sampah tidak pada tempatnya. Malam itu, ia tidak tidur. Terus membaca buku itu
sampai habis.
Gerhana
mengembang di atas pohon jambu. Cahayanya
menyembul membuat kampungku terang. Lebih terang di luar daripada di dalam saat
Ibu benar-benar mematikan lampu kamar Kalila.
Di
ruang tengah, aku sibuk mengerjakan tugas kuliah. Di saat itu pula, Ibu
mendekat. Ia membawa dua gelas teh hangat. Satu untuk Ibu sendiri, dan satunya
lagi untukku.
“Apakah
Eyang akan baik-baik saja, Bu?”
“Kamu
berdoa saja untuk Eyang.”
Jawaban
yang sama saat Kalila bertanya tentang Eyang. Aku menggerutu kesal dalam hati.
Mengapa Ibu tidak mau cerita padaku. Apa Ibu sangka aku tidak lebih dewasa. Setidaknya, aku bisa
menggantikan Ibu saat ia merasa sesak begitu Kalila bertanya tentang Eyang. Aku
tahu, setiap malam kepingan hati Ibu runtuh. Kalau sudah begitu, segera Ibu
menelangkupkan selimut, lalu mencium kening Kalila dan mematikan lampu.
“Sampai
kapan Ibu menyakiti diri sendiri?”
“Kamu
ini bicara apa, Nabil?”
Itulah
kebiasaan Ibu. Selalu balik bertanya saat ditanya. Atau, selalu mengelak supaya
aku tidak bertanya terus-terusan tentang masalah di rumah.
“Aku
berhak tahu!”
“Ibu
tahu, aku bisa mendatangi monster-monster itu dan meminta melepaskan Eyang.”
Suaraku
meninggi. Amarahku menguap. Aku menyakiti Ibu. Refleks, aku meringkuk di lutut Ibu. Kelewatan. Setidaknya
aku lebih sabar lagi sampai Ibu benar-benar buka mulut tentang apa yang terjadi
dalam keluarga ini, kataku dalam hati.
Sebentar
kemudian, Ayah datang, lalu mengajakku keluar di bawah pohon jambu. Di sana ada
kursi panjang. Kursi dari bambu apung itu sengaja diletakkan di sana. Dulu, kursi itu sering
dijadikan Ayah dan Eyang bercerita.
Suatu
malam Ayah pernah berucap, “Kursi ini
menyimpan seribu cerita tentang Eyang.” Dan, malam itu
kami menghabiskan malam bersama. Tapi, bukan untuk bercerita tentang Eyang.
Ayah mendudukkanku, lalu bertanya tentang masa
depan.
***
“Kapan
Eyang pulang, Bu?” tanya Kalila suatu malam.
“Kalila,
ada bintang jatuh!” seru Ibu.
Ibu
tidak sekalipun menjawab begitu Kalila bertanya tentang kepulangan Eyang.
Lantas, anak berambut ikal itu mencari bintang yang dimaksud. Segera menengadahkan
tangan seraya berdoa supaya Eyang segera pulang.
Sebelumnya,
aku kasih tahu kalian tentang Eyang. Aku tahu ini bukan dari Ayah atau Ibu.
Atau, bukan saat menguping Ibu dan Kalila di kamar. Tetapi dari kertas yang
jatuh di ruang tengah, saat Ayah dan Ibu bercengkerama secara diam-diam. Sementara aku berada di dapur
usai makan malam.
Eyang
adalah salah satu pemberontok pada zaman mudanya. Dengan seperangkat keberanian,
Eyang hendak
membongkar taktik kebohongan pejabat.
Eyang adalah orang biasa, tidak memiliki kekuasaan apapun. Diminta mencalonkan
menjadi gubernur ia tolak mentah-mentah. Jangankan itu, diminta menjadi wali kota saja tak sudi.
Eyang
tidak suka
berurusan dengan orang-orang pemerintahan.
Mereka kalau bicara seperti orang melindur. Apa saja dilontarkan. Asem rasanya.
Mulut mereka tak lebih sedap dari bunga
bangkai sekalipun. Kalau aku punyai keberanian lebih, kuambil gunting pemotong
rumput. Kuhabisi mulut mereka supaya tidak banyak
bicara. Juga tangan mereka yang kini doyan menggenggam
Soekarno, Hatta, Djuanda Kartawidjaja, Sam Ratulangi,
Frans Kaisiepo, hingga Pattimura.
“Kalau
mereka tidak mau mengaku, akan kubongkar niat jahatnya. Mereka itu setan
berdasi!”
Itulah
yang menyebabkan Eyang diculik para monster bangsat itu.
“Eyang
yang meminta,” kata Ayah samar-samar.
“Aku
tidak kuasa. Kalila terus menanyakan Eyangnya. Anak itu rindu dengan cerita
sejarah,” isak Ibu, sesekali mengutuk air matanya supaya tidak jatuh.
“Akan
aku gantikan!”
Tak
lama, Ayah membuka tas kecil. Ia memasukkan amplop warna putih ke tas. Bersamaan
itu, selembar kertas bertinta hitam
terjatuh di kolong meja. Ayah tidak tahu, begitupula Ibu. Dari dapur, aku merunduk-runduk mengambil dan membawa kertas itu ke
kamar. Setiba paragraf terakhir, benih dendam
tumbuh. Tubuhku ketempelan setan. Aku marah atas penuduhan Eyang
menggelapkan dana desa sepuluh tahun silam.
“Bangsat! Mengapa
kejadian sepuluh tahun lalu baru dipermasalahkan. Ke mana saja mereka selama
ini,” gerutuku.
Bola api dalam jiwa mengobar.
Aku tidak terima. Kupastikan penuduhan ini hanyalah rekayasa mereka—orang-orang
gila jabatan. Benar. Akan kubunuh mereka, kalau saja menuduh Eyang tidak-tidak.
***
“Kapan
Eyang pulang, Bu?” tanya Kalila pada Ibu.
“Kalila
berdoa saja untuk Eyang.”
Suara
Ibu berusaha tegar. Aku tahu, kepingan hati Ibu runtuh satu per satu ketika anak
bungsunya menanyakan tentang kepulangan Eyang. Aku tidak mengerti sampai musim ke berapa Kalila menanyakan itu. Ia tidak bosan,
dan Ibu tidak pula buka mulut.
Lampu
kamar Kalila remang-remang. Ibu sudah pergi membawa kepingan hatinya. Kalila
membuka bibir jendela kamar. Malam itu tidak ada bintang jatuh. Jangankan bintang
jatuh, satu bintang pun tidak tampak. Rupanya awan telah menyembunyikannya. Kalila
kembali ke kasur dengan rasa kecewa.
Matahari
miring membuat Kalila terbangun. Hangatnya menerobos masuk kamar merah jambu. Rupanya malam itu jendela kamar tetap terbuka.
“Ibu!
Ibu!” teriak Kalila.
“Apakah
Eyang sudah pulang, Bu? Bukankah setiap liburan sekolah Eyang mengajak naik
kuda bersama?”
Ibu
duduk terdiam. Kembali memungut hatinya yang runtuh. Sementara Kalila dengan
lugu menatap Ibunya, menunggu jawaban.
***
*Tulisan di atas pernah termuat di Radar Madiun, edisi 19 Januari 2020.
Komentar
Posting Komentar