Langsung ke konten utama

Resensi Buku: Power Rangers Kampung Manowa



Judul               : Si Anak Badai
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Republika Penerbit
Cetakan           : Pertama, Agustus 2019
Tebal               : iv+318 Halaman
ISBN               : 978-602-5734-93-9

Niscaya kita sesekali akan tersenyum-senyum sendiri, ketika membaca novel terbaru Tere Liye ini. Kenangan masa kecil akan terputar kembali. Katakanlah, candaan, gojekan, olokan, usilan hingga kebiasaan bermain. Pun, kenangan menjadi power rangers suka dengan tantangan.
 
Metafora badai dalam novel ini adalah karakter yang dimiliki oleh anak-anak di kampung Manowa. Mereka memiliki keberanian yang luar biasa demi meraih sesuatu yang diinginkan. Tak perlu ragu; bagaimana 

Tere Liye memberikan karakter kuat pada tokoh anak-anak dalam seri Anak Nusantara ke-6 ini. Kali ini, ia membawa imajinasi pembaca pada kehidupan anak nelayan. Sebagai pembaca yang notabene bukan anak nelayan seakan mampu bergerak menjelajahi alur cerita dan menikmati latar cerita yang dipilih untuk menuangkan idenya. 

Penulis novel Pergi (2018) ini mengobrak-abrik pembaca dengan menempelkan karakter kuat tokoh usia anak-anak—memiliki rasa keingintahuan tinggi, suka tantangan, tanggung jawab, dan berani dalam berargumen. Karakter kental lain, anak yang bandel, suka melempar tugas, keluyuran bersama teman, dan lainnya. 

Tere Liye pada novel 318 halaman ini membelalakkan pembaca. Pertama, keberanian dan tekad luar biasa. Anak-anak Kampung Manowa suka dengan tantangan. Apapun mereka hadapi, hingga pada keberanian menghadap Pak Alex supaya melepas Pak Kapten, juga saat protes membatalkan pembangunan pelabuhan, dan membongkar kebohongan dokumentasi proyek pembangunan pelabuhan. 

Kedua, kepatuhan terhadap Tuhan. Anak dan warga di kampung Manowa selalu menyempatkan diri shalat jamaah di masjid. Meski harus mendayung perahu dulu untuk tiba di tempat ibadah. Jujur, rasanya ini adalah satire bagi kita yang jarang shalat jamaah. Ketiga, kehidupan ekspresif anak nelayan, benar membuat kita sedikit iri. Lantaran mereka (karena anak nelayan) dapat berenang setiap saat, juga memancing di laut. Sementara, kita hanya bermain-main di empang. 

Menikmati seluk beluk kehidupan anak nelayan, tidak jauh-jauh dari dermaga, kapal, ikan, ombak laut, badai, dan serentet kawanan kehidupan laut. Tokoh anak badai, Zaenal, Awan, Ode, dan Malim menjadi tokoh episentrum cerita. Sementara, tokoh seperti Rahma, Mutia, Thiyah, dan Fatah adalah tokoh yang juga ikut mengambil bagian dari kisah si anak badai. Selain itu, masih banyak tokoh lain, seperti Bapak, Mamak, Pak Kapten, Wak Sidik, Guru Rudi, Bu Rum, Wak Minah, dan lainnya.

Saya katakan episentrum cerita, pasalnya Tere Liye tokoh si anak badai muncul di setiap segmen cerita. Katakanlah, saat tragedi ambruknya jembatan masjid. Kepekaan tokoh Ode digambarkan Tere Liye, lebih dulu mampu mengenali dari mana datangnya suara ‘krak’ yang telah menggegerkan jamaah shalat subuh. Dengan tegas ketika wajah para jamaah mendadak pucat, Ode berkata, “Dari Jembatan!” (hal. 93). Gegas, beberapa jamaah langsung melihat jembatan masjid mulai miring. Lantas, mereka segera berlari menjauh jembatan itu. Beruntung tidak ada korban. Hanya saja Malim dan Zaenal terperosok kepermukaan sungai.

Lebihnya, dalam setting segmen cerita lain, tokoh anak badai tidak mau ketinggalan menyalurkan bentuk empati terhadap tokoh lain. Katakanlah, saat tokoh Pak Kapten ditangkap oleh lima petugas berpakaian preman. Tokoh anak-anak, khususnya Rahma menangis tak henti. Berkali-kali ia meminta penjelasan kepada tokoh Guru Rudi, “Memangnya apa salah Kakek?” (hal. 221). Sementara bentuk empati tokoh anak badai memprotes tokoh Pak Alex supaya melepas Pak Kapten.

Mengerikan. Tiba di segmen cerita tragedi perobohan sekolah, satu-satunya sekolah di kampung Manowa. Teriak, tangis, dan protes mereka beradu dengan suara ekskavator. “Aku tergugu saat menyaksikan kelas enam dihancurkan. Ruangan terakhir yang tersisa. Juga Ode, Malim, dan Awang. Sekuat apa pun teriakan kami, sekuat apa pun tangisan kami, tidak akan menghentikan alat berat itu.” (hal.291).

***
Tere Liye, melalui novelnya Si Anak Badai menghadirkan kehidupan orang bersahabat dengan laut. Ikan-ikan menjadi teman akrab yang menghidupi. Ombak adalah gelombang yang mematikan. Namun karenanya, mereka belajar hidup lebih pada mengeri mematikan karena kelaparan. 

Deet ... deett!” Suara klakson kapal menjadi nyanyian setiap saat. Di saat suara itu beradu dengan suara ombak dan suara angin, anak badai saling menebak, kapal apa yang akan melintas. Terkarena saban hari mendengar, tentu mereka hapal. Mereka girang lalu melepas baju masing-masing untuk berenang beburu koin dari para penumpang kapal. Tentunya, mereka pandai berenang. Kalau tidak bisa berenang, bukanlah anak nelayan, namanya. 

Kehidupan di atas air mereka jalani. Bersahabat dengan laut, juga segala pernik kelautan ia nikmati. Memancing misalnya, sudah menjadi hobi anak nelayan usai sekolah. Terlebih, menunggui kapal melintas sudah menjadi hal yang tidak mau terlewatkan, barangkali sehari pun. Dengan melakukan itu, anak-anak mendapatkan uang.

Sementara, menjual ikan menjadi satu kesatuan usai memancing. Katakanlah, tokoh Malim, usai memancing pada malam hari bersama kawan-kawannya. Malim menjual ikannya di pasar terapung. Tentu kita bisa membayangkan, kegembiraan tokoh Mlalim sudah bisa memancing ikan lalu menjualnya sendiri. 

Anak badai, sekali lagi mereka anak-anak yang umpama badai. Terjang melawan apapun mereka hadapi. Tanpa berpikir risiko yang akan diterima. Si anak badai, ya, mereka power rangers dari Kampung Manowa. Semua di depan yang menghalangi, apalagi sampai berusaha menghilangkan akan ia takhlukkan. Kekuatan power rangers siap mengubah apa pun yang menjadi haknya, termasuk tempat tingal di kampung Manowa. (Peresensi, Suci Ayu Latifah)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...