Langsung ke konten utama

Guru Agen Perubahan


Menulis masih menjadi kegiatan langka dalam lingkungan kita, misal dalam bidang pendidikan. Penulis yang benar-benar serius masih sulit ditemukan. Ngainun Naim, dalam memberikan materi di Sekolah Literasi Gratis (SLG) Ponorogo menegaskan, menulis adalah proses yang harus dijalani dengan sabar. Tidak boleh terburu-buru karena akan berdampak pada hasil tulisan yang kurang baik.

Menurut Ngainun, menulis harus dilandasi oleh rasa cinta. Rasa bangga akan kepemilikan sebuah karya melalui proses yang panjang dan keberanian yang melebihi segalanya. Keberhasilan seseorang dalam menulis sama halnya seperti orang melakukan pendakian. Yakni, menikmati setiap hambatan-hambatan, menitih satu per satu tanjakan untuk sampai ke puncak. Tak lupa, juga menikmati kegagalan dan kejatuhan dalam proses pencarian yang hakiki demi sampai harapan yang diinginkan.

Kegagalan seorang penulis menjadi warna cerita sebuah petualangan. Penulis berusaha mencari penyebab kegagalan yang terjadi, kemudian menganalisis dan mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, dalam berproses inilah penulis hendaklah memiliki suatu persiapan mental juga fisik yang siap bertempur setiap hari.

Banyak orang yang menyatakan, “Menulis itu sulit. Menulis butuh bakat”. Pernyataan tersebut, tidak bagi dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung itu. Menurutnya, menulis itu gampang dan tidak membutuhkan bakat. Pasalnya, hal terpenting dalam menulis adalah proses. Menikmati lompatan-lompatan secara sabar. Laki-laki berkepala botak itu, mengungkapkan, permasalahan pertama kesulitan dalam menulis adalah tidak mau membaca. Tuturnya, membaca itu penting karena dengan membaca seseorang bisa menjawab semuanya.

Lebih dari itu, membaca merupakan buah dari kehausannya. Beruntunglah ia, sejak kecil terlahir dari keluarga yang suka membaca. Meskipun hidupnya sederhana, ayahnya seorang pensiunan PNS guru MI. Setiap bulan selalu menyisihkan uang untuk membeli buku. Begitupula dengan seorang Ibu yang berprofesi sebagai  ibu rumah tangga itu, juga mengenalkan Ngainun cerita-cerita rakyat lewat buku bacaan yang dimiliki. “Setiap menjelang tidur, Ibu selalu membacakan cerita-cerita yang menarik,” tambah laki-laki bertinggi badan 173 sentimeter itu.

Dari kebiasan dibacakan cerita itulah, lalu timbul kesenangan Ngainun terhadap membaca, sehingga berdampak pada kegiatan menulis. Bahkan, terang-terangan ia mengatakan menulis berbasis membaca. Dalam ceritanya saat mengawali memberikan materi di SLG, Ngainun mengatakan, jika termotivasi oleh gurunya bahasa Inggris yang selalu membaca dan membawa buku baru saat mengajar. Hingga pernah suatu ketika, ada salah satu siswa yang mengajukan pertanyaan di luar jadwal belajar. Namun dengan santai, guru itu berusaha menjawab semua pertanyaan-pertanyaan dari siswanya.

Dari situlah, Ngainun awal tertarik dan menyukai dunia membaca. Pengaruh dari membaca itu luar biasa, katanya. Membaca adalah pintu dari segalanya, termasuk menulis. Membaca dan menulis yang dilakukan dari proses belajar setiap hari itu, kini berbuah.

Di awal tahun 2017, laki-laki dari delapan bersaudara itu telah menerbitkan buku berjudul “Proses Kreatif Penulisan Akademik” Buku itu berisikan persoalan-persoalan yang seringkali terjadi oleh mahasiswanya ketika mengerjakan tugas kuliah, yaitu persoalan tentang aspek proses kreatif. Melalui buku itu, mahasiswa bisa belajar bagaimana proses kreatif menghasilkan sebuah karya akademik.

Latar belakang penerbitan buku tersebut disebabkan karena kegelisahan seorang dosen kepada mahasiswa ketika mengerjakan tugas akademik, berupa makalah. Budaya buruk mahasiswa, seperti copy paste, menunda-nunda tugas, dan lain sebagainya itulah yang membuat hasil tulisan jelek. Apalagi jika tulisan tersebut dikerjakan secara mendadak dan terburu-buru, akhirnya seringkali mahasiswa menggunakan teknik copy paste dari internet tanpa membaca dan menganalisis tulisan yang ada.

Hal ini, sama seperti yang pernah diungkapkan Djoko Saryono saat memberikan materi juga di SLG (27/11/2016), mengatakan ada empat maqam menulis, dan salah satu dari keempat itu adalah pemulung gagasan. Maksud dari pemulung gagasan ini adalah ketika seseorang hanya mengambil lalu mengumpulkan kutipan-kutipan atau gagasan-gagasan orang lain tanpa mencantumkan sumber yang ada, alias profesi copy paste. Kasus seperti ini sangat mengerikan apabila mahasiswa atau seseorang tidak memiliki kesadaran yang muncul dari dirinya sendiri. Sebagai seorang guru, Ngainun turut prihatin dan berniat mengubah paradigma belajar mahasiswa.

Untuk itu, dalam hal ini guru masa kini tidak sekadar mendampingi, membina mahasiswa, terlebih guru hendaknya mengarahkan, membimbing, juga menjembatani mahasiswa dalam belajar. Karena guru adalah mengajar untuk perubahan anak didiknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...