Langsung ke konten utama

Reportase: Tersandera LKS


GURU harus kreatif dan inovatif saat melakukan proses belajar mengajar, ujar Cutiana Windri Astuti, dosen STKIP PGRI Ponorogo kepada mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) angkatan 2015, Jumat (6/1/2017).

Cutiana menambahkan, guru tidak boleh terkukung Lembar Kerja Siswa (LKS) yang bisa jadi memupus kreativitas guru dan siswa. Lulusan sarjana pendidikan, sebagai calon guru harus memiliki jiwa kreatif dan terampil.

“Guru yang baik tidak mengandalkan kunci jawaban,” putusnya di tengah kegembiraan mahasiswa PBSI 2015 yang merayakan keberhasilan cipta buku teks.

Buku teks adalah buku pedoman pembelajaran yang disusun berdasarkan kurikulum sebagai penunjang proses pembelajaan.

Dosen pengampu mata kuliah Telaah Kurikulum dan Buku Teks ini menyampaikan, tujuan cipta buku teks, agar mahasiswa lebih memahami dalam menelaah seluk-beluk buku teks dengan mencocokkan berdasarkan Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator, dan materi yang akan dibahas.

Tugas cipta buku teks ini, mendapat dukungan penuh Ketua STKIP PGRI Ponorogo, Kasnadi yang menyetujui cipta buku teks guna memupuk kreativitas mahasiswa.

Hal ini juga dirasakan Sri Wahyuni, mahasiswa PBSI 2015. “Berkat tugas cipta buku teks ini, saya menjadi yakin dengan cita-cita menjadi guru, sebab bergaul dengan buku teks sangat menyenangkan. Guru dan siswa menjadi lebih kreatif,” ujarnya.

Cutiana pun menyampaikan kebanggaannya kepada mahasiswa. Tuturnya, mahasiswa cukup variatif, memiliki semangat, dan tidak mengeluh dalam proses penyusunan buku teks. Meskipun, saat presentasi pracetak, ada kelompok yang belum siap dengan konsep sangat sederhana. Akhirnya, mereka mampu menyelesaikan tugas tersebut dengan baik.

“Mahasiswa sudah berusaha melakukan kewajibannya dengan baik. Meski masih ada yang kurang teliti dalam pengetikan, misal tanda baca, ejaan, materi, evaluasi, dan lainnya,” ujar Cutiana.

Di akhir pertemuan, Cutiana berharap, semoga kelak ketika menjadi guru, mereka menjadi guru yang kreatif, terampil, dan inovatif. Pasalnya, guru merupakan jembatan bagi masa depan anak didik.

Untuk itu, guru sebagai fasilitator pembelajaran harus mampu menempatan diri dengan benar.

“Bukankah guru itu digugu lan ditiru,” pungkas Cutiana.

*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 18 Januari 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...