Langsung ke konten utama

Pendidikan Indonesia: Antara Tahu dan Bisa


Membincang Indonesia bertema pendidikan selalu menarik, karena sebagai wahana mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti tertera dalam Pembukaan UUD 1945. Pendidikan mengajak manusia mengenal lingkungan, masyarakat, dandiri sendiri melalui transfer ilmu pengetahuan. Tidak salah, jika Paulo Freire (1978) mengungkapkan, pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia (humanization).

Kendati, cita-cita luhur Indonesia hingga di tahun 2017 belum terealisasikan dalam konteks pendidikan Nasional. Pendidikan kita masih jalan di tempat--tidak berjalan maju, tapi bukan berarti mundur.  

Potret buruk pendidikan Indonesia, bila kita cermat sangatlah mudah diketahui hasilnya. Tanpa sadar, pendidikan Indonesia selama ini mengajarkan ilmu tahu, bukan ilmu bisa. Akibatnya, ketika penikmat pendidikan lulus, mereka gagap dan tidak mampu menghadapi dunia kerja yang banyak membutuhkan ilmu bisa. 

Sebagai contoh di sekitar kita, ribuan sarjana pendidikan banyak yang menganggur tidak jelas. Coba bayangkan, di antara jumlah itu yang terserap ke lapangan kerja maksimal 10-20%. Sisanya sudah pasti golongan menganggur. Belum lagi potensi PHK yang disebabkan banyaknya perusahaan tutup lantaran persaingan dunia pasar yang semakin ketat dan daya saing beli sepi (Jawa Pos, 16/01/2011).
Lalu, apakah solusi terbaik terkait permasalahan tersebut? Mungkinkah, pendidikan di Indonesia akan monoton? 

Ada dua langkah yang dapat kita renungkan. Pertama, perguruan tinggi mulai tahun ini harus memrioritaskan pembelajaran ilmu bisa daripada ilmu tahu. Hal ini sangat penting digerakkan guna meminimalisir lulusan yang  memiliki label “pengangguran”. Tujuannya, agar lulusan pendidikan, ketika berada di lapangan tidak saja sekadar tahu, namun juga bisa bekerja sama dengan baik dan berkompeten.

Kedua, sejak awal, setiap lulusan perguruan tinggi harus diberikan pembekalan akan tujuan kuliah. Terutama untuk melahirkan generasi unggulan dan memiliki skill. Hal ini, lulusan tidak sekadar sebagai penikmat pekerjaan, tetapi juga diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.

Perlu digaris bawahi, mahasiswa adalah agen perubahan  (agent of change) yang jika mampu memiliki skill wirausaha multiplier effect-nya akan terkesan luar biasa. Sebutlah, Firmansyah, alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) sekarang menjadi milyarder lewat pilihan jalur wirausaha. Ada lagi, pemilik Bakmi Tebet, Wahyu Saidi, alumnus Institut Teknik Bandung (ITB) sekarang membuka cabang bakmi Nasional.

Untuk mewujudkan dua langkah di atas, dibutuhkannya pendidikan yang berkualitas bagi semua lulusan strata sosial (upper, middle, and lower class) harus dijadikan agenda kebijakan yang tegas (Duta, 29/05/2015). Tujuannya, menerapkan pendidikan kualitas melalui pendidikan intelektualisme, profesionalisme, skill, dan kreativitas anak muda Indonesia dapat diasah.

Dengan asumsi di atas, setidaknya memberikan kesadaran sosial Indonesia. Jangan sampai melahirkan generasi pengangguran yang hanya belajar ilmu tahu, tapi tidak memelajari ilmu bisa. Selain itu, dua solusi di atas diharapkan mampu mengurangi jumlah pengangguran karena akan berdampak pada angka kemiskinan. Selanjutnya, kemiskinan akan menambah angka kriminalitas. Karena itu, dengan cekatan kita harus memutus mata rantai tersebut. 

“What you get is what you believe.” Jika kamu yakin, kamu akan mendapatkan apa pun yang kamu inginkan.

*Tulisan di atas pernah termuat di Koran Sindo, 6 Januari 2017.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...