100 peserta literasi yang berdomisili di
Ponorogo dan sekitarnya, mengikuti program Sekolah Literasi Gratis (SLG) Ponorogo, Minggu (25/2) lalu, di
Gedung Graha Saraswati STKIP PGRI Ponorogo. SLG angkatan ke-6 itu menghadirkan
dosen Kanda University of International
Studies Jepang, Suyoto Atim.
Mengawali memberikan materi, Suyoto bercerita
bahwa masyarakat di Jepang itu lucu. Mereka pernah ke Bali, tapi tidak tahu
jika Bali ada di Indonesia. Itupun tidak satu atau dua orang, melainkan sekitar
30% wisatawan yang pernah ke Bali, Kota Dewata itu.
Karena berlatar belakang itulah,
akhirnya lelaki berkumis tebal itu mengabdi di Jepang menjadi dosen Bahasa dan
Sastra Indonesia selama 16 tahun.
“Selain menjadi guru, saya mencoba
mengenalkan Indonesia mulai dari baju adat, alat musik, lagu-lagu Jawa, cerita rakyat, dan lainnya.” Demikian Suyoto
Atim mengutarakan alasannya mengajar di Jepang.
Tak hanya itu, ia juga membangun rumah
Indonesia sebagai pusat budaya praktik
bahasa Indonesia dengan dilengkapi budaya tradisional di seluruh Indonesia,
seperti tari Jatil dari Ponorogo.
Pemberdayaan bahasa Indonesia di Jepang,
mendapat dukungan luar biasa. Hal ini terbukti, pertama, setiap tahun
mengadakan lomba pidato bahasa Indonesia yang sudah berlangsung sejak tahun
2007.
Dalam lomba tersebut, peserta juara 1 akan mendapat uang saku, menginap 3
malam di hotel, dan pulang-pergi gratis dengan kendaraan garuda Indonesia.
Kedua, mengorientasikan mahasiswa mulai
angkatan 1-16 dengan memberikan nama-nama mereka menggunakan bahasa Indonesia,
seperti Ana, Laili, Rumini, Haryuningsih, dan lainnya. Perjuangan pemberian
nama ini, tidak semerta-merta sekadar menyebut. Kerena Suyoto berusaha tidak
ada nama yang sama setiap angkatan.
Ketiga, mengadakan acara-acara tertentu
yang berkaitan mengenalkan Indonesia, seperti peringata Hari Kartini, 21 April.
Mahasiswa Jepang diminta mengenakan kebaya atau batik Indonesia.
“Di sana saya juga membuka Kantin Asia
dengan fasilias menu makanan halal dan tempat shalat lengkap dengan tempat
wudhu,” tambah lelaki yang dinobatkan sebagai Bapak Rumah di Rumah Indonesia
itu.
Luar biasa, dosen alumnus Universitas
Negeri Malang 1990 (sekarang), juga bercerita mahasiswa di sana sangat antusias
ketika belajar bahasa Indonesia.
“Sebagian mahasiswa ada yang sudah
lancar berbahasa Indonesia meski masih tersendat-sendat,”terangnya.
*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 27 Maret 2017.
Komentar
Posting Komentar