Mahasiswa adalah kaum intelektual yang kaya akan ilmu dan sudut pandang. Mahasiswa adalah tulang punggung suatu negara. Dan mahasiswa pulalah, generasi kritis yang akan menoreh benih-benih perubahan bagi kelangsungan bangsa dan negara. Keberhasilan suatu negara terletak pada benih yang ditanamkan generasinya. Jika benih itu baik, maka hasilnya pun demikian. Namun sebaliknya, jika benih yang ditanaman kurang baik, maka hasilnya pun kurang baik.
Indonesia, negara yang kita jadikan
rumah kehidupan memiliki energi yang seringkali menjadi tumpang tindih
antarsesama. Entah itu energi positif maupun energi negatif. Selanjutnya, berbicara
soal mahasiswa dalam ranah sosial kemasyarakatan berkedudukan sebagai tali untuk mengikat persatuan. Mahasiswa
diharapkan peka akan penyakit sosial yang kerap melanda negara. Salah satunya
adalah sifat keegoisan manusia yang sulit untuk dikendalikan.
Memang, setiap manusia telah dianugerahi
akal untuk berpikir sehingga memiliki beragam sudut pandang. Namun, semua itu
harus dikembalikan pada posisinya masing-masing. Manusia—hidup saling
melengkapi kekurangan dan mengoptimalisasi kelebihan. Untuk itu, mengingat
penyakit sosial yang begitu akrab itu, ada salah-satu jalan alternatif, yaitu sebuah
jembatan Islam yang disebut dakwah.
Dakwah, secara etimologis berasal dari
kata da’a-yad’u-da’watun yang berarti
mengajak, memanggil, atau menyeru suatu hal. 1 Sementara itu, M.
Qurasih Shihab menyatakan, dakwah sebagai suatu upaya seruan dan ajakan kepada
keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik bagi
pribadi maupun masyarakat.
Perwujudan dakwah bukan sekadar usaha meningkatkan
pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, melainkan juga
menuju sasaran yang lebih luas. Terlebih di era digitalisasi, dakwah merujuk pada
pelaksanaan ajaran agama secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan.
Di sini, kita dapat menyimpulkan, dakwah
adalah proses penyampaian ajaran Islam dari seseorang kepada orang lain, baik
secara individual maupun kelompok untuk mengabarkan kebaikan yang akan
berimplikasi dalam rangka menegakkan nilai-nilai kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah dari kemungkaran (nahi mungkar). Dakwah juga sebagai sarana memotivasi manusia agar
seruan-seruan Islam tidak berhenti pada gambaran awal, melainkan
berkesinambungan membentuk sebuah kekuatan Islam yang kokoh dan berkembang
sesuai impian pemeluknya.
Jembatan Islam seperti dakwah merupakan
salah satu kewajiban utama dalam ajaran Islam. Ajaran Islam yang diterima oleh
para nabi dan rasul bisa dikenal oleh generasi berikutnya, bahkan hingga generasi
sekarang melalui perantara jalan berdakwah. Tanpa dakwah terputuslah generasi
Islam masa datang. Dengan begitu, mahasiswa melalui jembatan Islam senantiasa
akan mengubah tatanan setiap aspek kehidupan manusia menuju konsistensi diri
pada proses penyampaian suatu pesan mulia kepada antarmanusia sebagai tahap
pendakian kesempurnaan suatu iman.
Dakwah sebagai bentuk meneruskan ajaran
Islam tergolong tugas yang paling mulia dan dicintai Allah. Dengan tugas ini,
pendakwah memiliki kedudukan yang tinggi untuk mengembalikan manusia kepada
semula diciptakankannya manusia, yaitu sebagai khaliffatulah dan ‘ibadullah.
Sederhananya, kegiatan berdakwah dapat diawali
dari pribadi, keluarga, masyarakat hingga ke penjuru nusantara. Meskipun
komponen-komponen kehidupan di negara terbilang cukup rumit dan komplek,
seperti daya pikir, sikap hidup, tingkah laku, dan hal-hal yang terkait
pemberdayaan masyarakat, kita harus yakin jembatan Islam dakwah mampu membenahi
masyarakat, menuntun hidup mereka secara benar dan menunjukkan kepada jalan
yang lurus.
Adapun kegiatan dakwah untuk mengemban
tugas para nabi dan rasul, pemuda muslim dalam menyampaikan dakwah harus
memiliki eksistensi diri untuk mengikat dan memengaruhi, sehingga menyeluruh ke
elemen-elemen masyarakat luas. Terlebih, ketika mobilitas masyarakat sangat
tinggi.
Sebagai gerakan awal mahasiswa, strategi
dakwah harus disampaikan secara konvensional melalui pertemuan tatap muka,
seperti nasihat, ramah tamah, dan lain sebagainya. Melalui tahapan sederhana
ini, lama-kelamaan akan memiliki posisi yang memungkinkan untuk melanjutkan
proses pendakwahan tingkat lanjut, seperti ceramah atau khotbah bagi kaum laki-laki
saat momen hari Jumat dan momen lainnya.
Lebih spesifiknya, dakwah memiliki
beberapa model, yaitu da’wah bi al-lisan
(ceramah), da’wah bi al-hal
(perbuatan), dan da’wah bi al-kitabah
(tulisan). Dari ketiga model tersebut, semuanya berkaitan erat dengan sosial,
yaitu hubungan antara manusia dengan manusia lain--saling berinteraksi dan
bersosial.
Bagi penulis, dari ketiga model tersebut,
sebagai seruan dakwah sosial dapat dimulai dari hal yang termudah. Pertama, da’wah bi al-hal (perbuatan). Kecenderungan masyarakat kita adalah
masyarakat instan dan konsumtif. Mereka tidak mau ribet, sehingga untuk
menerapkan model dakwah perbuatan dibutuhkan gerakan konkretisasi. Misalnya, memberikan
contoh bagaimana cara mengingatkan sesama muslim untuk menjalankan perintah
Allah, seperti shalat. Melalui perbuatan kita yang tertib (ajeg) menunaikan shalat, secara perlahan akan timbul magnet yang
saling tarik-menarik antara pelaku yang tertib shalat dan belum tertib shalat,
bahkan belum ada keinginan melakukan shalat. Tidak cukup perbuatan, ucapan dan
tingkah laku sehari-hari pun harus sama—tidak mengada-ada sekadar pencitraan
diri.
Dalam pemodelan ini, kita tidak harus
menghabiskan tenaga untuk banyak-banyak menasihati, apalagi menggurui; harus shalat;
harus mengaji; dan harus-harus lainnya. Boleh saja menasihati, tapi jangan
terlalu sering, sekali atau dua kali tidak masalah. Sebab, ketika kita banyak
berucap tanpa memberikan contoh atau bentuk keteladanan yang konkret, maka
mereka akan beranggapan jelek tentang kita. Karenanya, masyarakat di era saat
ini anti digurui, justru mereka maunya menggurui. Untuk itu, sebagai cermin
yang baik, kita cukup memberikan contoh melalui perbuatan-perbuatan baik kita.
Coba pikirkan ulang, butuh berapa menit
kalian menunaikan shalat. Umumnya seseorang melaksanakan ibadah shalat tidak
membutuhkan waktu berjam-jam, cukup 5 menit sudah selesai. Jadi, shalat kita
lakukan dan bekerja pun demikian. Buktinya kita tetap bisa malakukan hal lain tanpa
ada salah satu yang terabaikan.
Model dakwah ini, membutuhkan waktu yang
lama. Karena setiap orang memiliki daya magnet yang berbeda-beda. Pendakwah
harus optimis mampu mengembalikan pemikiran masyarakat untuk kembali berada
dalam koridor Islam yang hakiki.
Kedua, da’wah bi al-kitabah (tulisan). Model
dakwah ini dapat dilakukan melalui media tulis. Seperti yang kita ketahui,
dalam Alquran pun, manusia diperintahkan untuk menulis. Sebagai contoh, kita
dapat menuliskan sesuatu yang berbau tentang keIslaman, baik di media cetak
maupun online dengan mengabarkan kebaikan-kebaikan ilmu Islam yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misal, menulis tentang keutamaan
sedekah. Di sini kita dapat memberikan nilai-nilai yang baik dan mampu
mengantarkan pemikiran manusia untuk menerapkan sesuai dengan apa yang dibaca.
Namun, dalam model ini penulis juga
harus berhati-hati. Karenanya, tulisan itu akan berdampak luar biasa. Menulis
tidak sekadar menyalin kata-kata, melainkan perlu adanya pemahaman yang luas
terhadap tulisan, sehingga ketika tulisan disanggah pembaca kita mampu
mempertanggungjawabkan.
Ketiga, da’wah bi al-lisan (ceramah). Model ini
menurut penulis adalah cara dakwah paling sulit. Mengapa demikian? Karena
penceramah (da’i) harus memiliki materi yang kuat dan berisi untuk disampaikan
secara langsung kepada khalayak. Selain itu, penyampaian pesan dilakukan secara
interaktif di mana pendengar diberikan ruang untuk bertanya tentang materi yang
sudah disampaikan.
Selain materi sudah siap, dakwah ini
akan terasa memuaskan apabila diikuti dengan mental yang kuat. Da’i dalam
menyampaikan materi harus tenang—tidak gugup dan ragu-ragu dalam berkata.
Apalagi ketika sudah di depan khalayak umum, da’i diharapkan tampil semaksimal
mungkin. Persoalan gugup itu bisa dilatih. Lama-kelamaan jika sudah terbiasa
berbicara di depan khalayak, rasa takut, gugup, ragu-ragu, atau semacam
keminderan akan hilang sendiri, tanpa kita rencanakan dan pikirkan. Keberhasilan dari model ceramah ini, di
antaranya mampu membangkitkan perhatian (attention),
minat (interest), hasrat (desire), keputusan (decision), dan kegiatan (action)
pendengar.
Begitu ketiga model dakwah ini dilakukan
dengan baik, tidak menutup kemungkinan akan terjadi perubahan besar bagi
kehidupan manusia. Manusia yang lemah tentang ajaran Islam secara perlahan
otaknya akan terisi oleh kajian-kajian bergizi tentang ke-Islaman. Namun, semua
itu kembali pada manusia itu sendiri. Apabila ada niatan ingin belajar untuk
mengubah pemikiran dan tatanan hidup maka pembelajaran Islam akan berguna
dengan maksimal. Tetapi sebaliknya, jika manusia tidak mau bergerak menuju
perubahan hidup, tetap duduk santai dipembaringan tanpa perubahan, maka
hasilnya sama. Ajaran-ajaran Islam yang didapat tidak ada gunanya. Sama halnya
seperti tunarungu. Selebar, seluas, sedalam apapun materi yang disampaikan oleh
seseorang, tidak akan terlihat hasilnya karena pendengar tidak mampu mendengar
dengan baik.
Untuk itu, perlu kita garis bawahi. Perubahan
besar dalam diri seseorang terlihat dari sikap orang itu sendiri. Jika manusia
mau mengubah hidupnya, maka jalan kebaikan
akan mengikutinya. Tapi sebaliknya, jika manusia diam di tempat, maka tidak
akan terjadi perubahan dalam dirinya, sehingga hidup terkesan tidak apa-apa dan
tidak bermakna. Sungguh ini bukanlah harapan kita, tentunya.
Terakhir kalinya, sebagai mahasiswa—generasi
masa depan hendaklah kita saling berbagi, menyuarakan ilmu kepada sesama. Ilmu
itu layaknya akar pohon, yakni bercabang-cabang dan kuat. Ilmu yang kita miliki
sebaiknya dikembangkan, karena jika tidak, ilmu akan menghancurkan diri kita.
Cara mengembangkan ilmu salah satunya melalui simbol jembatan Islam, yaitu
dakwah. Seperti sebuah ungkapan menarik, “Berbagi itu indah” maka sebagai
manusia yang mulia sudah sepatutnya kita saling berbagi antarsesama--apapun
itu.
Referensi:
Shihab, M. Quraish. 1995. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Wilber,
Ken. 2012. A Theory of Every Thing. Jakarta Selatan: Mizan.
Zaenuri,
Lalu Ahmad. 2016. Dakwah itu Menyantuni. Mataram NTB: LEPPIM IAIN Mataram.
*Tulisan
di atas telah menjadi pemenang Juara 1 dalam rangka hari ulang tahun IMM yang
diselenggarakan oleh kampus Universitas Muhammadiyah Ponorogo tahun 2017,
dengan total nilai 1520. Bersaing di antara 29 naskah se-Komunitas IMM
Ponorogo.
Komentar
Posting Komentar